12. Kesepakatan

8 3 0
                                    

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***

"Kamu mau jeruk?" Gua menggeleng. "Apel?" Gua kembali menggeleng.

"Terus maunya apa?" Tanya Renjun bingung. Berdiri di dekat meja makan sambil melihat buah-buahan yang ada di atas meja makan. Itu semua pemberian dari tante Wendy dan juga om Chanyeol-sebelum mereka berdua berangkat ke Singapura.

"Selain itu adanya apa?" Tanya gua balik. "Ada anggur, kelengkeng, terus..."

"Gak jadi deh kalo gitu." Renjun menoleh kearah gua dengan raut wajah yang bingung. "Kenapa gak jadi? Kamu gak mau?" Gua menggeleng.

"Gak mau, gak ada yang pengen aku mau." Jawab gua yang setelahnya gua terduduk lemas di atas bangsal. "Makan buah apel aja ya? Biar aku potongin." Tawar Renjun.

Tapi gua tetep nolak karna sebenarnya gua tiba-tiba merasa mual dan pengen memuntahkan segalanya yang ada di dalam perut gua. Bahkan kepala gua juga ikutan pusing dan dada gua terasa sesak seperti orang yang kekurangan oksigen.

Renjun yang melihat gua tiba-tiba terkulai lemas seperti itu pun seketika berlari kearah gua sebelum akhirnya terduduk di samping gua sambil menangkup wajah gua dengan lembut.

"Na, kamu kenapa?! Ada yang sakit?! Sebentar, aku panggil dokter dulu." Panik Renjun yang setelahnya dia menekan tombol darurat yang ada di samping bangsal gua.

Renjun menangis, bahkan setelahnya dia memeluk gua dengan erat. Sedangkan gua, gua menahan rasa sakit itu mati-matian dibalik eratnya pelukan Renjun. Rasa sakit yang ada di bawah sana, dengan perlahan mulai menjalar ke daerah perut gua yang membuat gua merasa mual tiba-tiba.

Disaat-saat seperti ini, kenapa harus terjadi di hadapan Renjun?

"Renjunn... saa... kiit..."

***

Gua membuka mata gua dengan perlahan sambil merasakan sesuatu yang mengganjal di dalam genggaman tangan gua. Lampu kamar sudah dimatikan, bahkan sinar cahaya pun hanya terpancarkan dari lampu tidur yang ada di atas lemari nakas.

Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi, itu tandanya gua udah hampir tujuh jam gak sadarkan diri semenjak kejadian tadi malam. Gua sedikit menunduk, melihat Renjun yang tertidur sambil terduduk dengan tangan kanan yang menggenggam tangan kiri gua.

Perlahan air mata gua kembali mengalir, dan tanpa sadar tangan kanan gua mulai bergerak untuk mengelus rambut Renjun.

"Seharusnya kamu gak usah ada disini Renjun, dengan begitu kamu gak akan pernah liat aku menderita kayak tadi."

"Dan maaf juga, karna aku kamu jadi panik dan nangis. Aku gak mau bikin kamu menderita karna aku, Renjun."

"Kalo gitu jangan bikin aku nangis, kalo gitu jangan bikin aku panik, kalo gitu jangan bikin aku menderita. Kamu bisa kan?" Bales Renjun tiba-tiba, tapi masih dalam posisi yang sama.

"Bisa, tapi harus dengan satu cara."

"Apa?"

"Lupain aku." Renjun terdiam. "Lupain aku untuk selamanya, Renjun. Dengan begitu kamu gak akan nangis, dengan begitu kamu gak akan panik, dengan begitu kamu-"

"Aku gak bisa."

"Kenapa?" Renjun bangun dari tidurnya lalu mengusap wajahnya dengan pelan, menghela nafasnya seketika sebelum akhirnya berjalan kearah gua dan duduk di pinggir bangsal gua.

Gua terdiam, dan masih menatap Renjun dengan bingung. Tapi setelah Renjun menangkup wajah gua dengan lembut, gua mulai sadar, kalo gua sangat berharga untuk dirinya.

Tapi semakin berharga, bukannya semakin sulit untuk dimiliki?

Dan di detik selanjutnya, gua hanya bisa terdiam ketika merasakan sesuatu yang mendarat di atas bibir gua. Renjun mengecup, lalu menatap kedua manik mata gua lekat-lekat.

"Karna aku udah terlalu jatuh ke dalam kamu, Nana. Jadi jangan minta aku buat lupain kamu, karna gak akan pernah bisa buat aku."

"Tapi kamu minta aku buat-"

Dua.

"Renjun, dengerin aku du-"

Tiga.

"Oke, sekarang terserah kamu aja. Kalo kamu tetep mau kayak gitu, aku gak bakal maksa. Tapi nanti kamu harus terima konsekuensinya, setuju?"

Renjun mengangguk sambil tersenyum, lalu setelahnya kembali mengecup untuk yang keempat kalinya. "Renjun, udah." Ucap gua sambil tertawa, begitupun juga Renjun.

Dan terakhir, akhirnya Renjun memutuskan untuk tidur di samping gua di atas tempat tidur yang sama. Memeluk tubuh gua dengan erat sambil mengelus pucuk kepala gua dengan lembut.

Malam ini, apa bisa lebih lama dari malam sebelumnya?

***

"Aku masih ingat gimana dulu kita buat kesepakatan di malam hari itu, Nana. Tapi untuk saat ini, izinin aku buat melanggar kesepakatan itu sekali aja. Karna aku masih belum bisa menerima konsekuensinya dan masih tetap memikirkan kamu hingga detik ini. Kamu gak marah kan, Na?"

TBC

Love is a Sweet Pain [AU] | Renjun ✔Where stories live. Discover now