04. Takdir yang Terkutuk

37 3 0
                                    

Siang tadi, aku dan yang lain berkesempatan untuk berkunjung ke salah satu tempat wisata menarik. Setelah mendengkam diri akibat virus dunia, berlibur menjadi hal yang menggembirakan.

Sayangnya perjalanan ini bukanlah murni perjalanan. Kami terikat kontrak sehingga kami harus bekerja. Tak masalah memang, hanya saja menjadi problema ketika aku dan rekanku harus terbagi menjadi tiga tim.

Aku dengan sisiripi dan paus biru bersama lumba-lumba.

Sekali lagi, dengan lumba-lumba.

Entah kesialan apa sisiripi dimasa lalu yang membuat ia tak pernah berjodoh dengan paus biru. Sebagai temannya, aku turut berduka dan sebisa mungkin penghiburan ku lakukan padanya.

"Kau oke?" tanyaku.

"Ya, aku baik..." jawabnya singkat.

"Kau marah?" aku menyerahkan sebotol air mineral dingin padanya. Menenggak sedikit cairan itu lalu menatap sendu.

"Cinta tumbuh karena terbiasa,"gantungnya. Senyumnya getir, membentuk tawa dalam tangis. Menatapku sekedar dan menghela nafas panjang.

"Terbiasa bersama tepatnya..." ujarnya melengkapi kalimat sebelumnya.

Perkataan sisiripi membuatku tertegun. Bukan karena tidak sependapat, hanya saja satu pertanyaan kurang ajar terlintas dibenakku,

'bagaimana jika paus biru dan lumba-lumba adalah takdir?'

Maksudku, aku mengerti mereka telah memiliki pasangan masing-masing. Penghianatan dengan menyakiti pasangan demi orang lain juga aku sepakat itu merupakan dosa besar.

Hanya saja, jika semesta memang menorehkan paus biru dan lumba-lumba sebagai insan yang tak bisa lepas, sekuat apapun mengusahakan perpisahan keduanya ialah pekerjaan sia-sia.

Salah satu sebab aku tak ingin mencinta. Ia begitu rumit untuk dipecahkan teka-tekinya.


Novae Angelish

Sea and SeeWhere stories live. Discover now