Satya dan Sarah masuk ke rumah bertepatan dengan waktu makan siang. Tadinya Satya akan menghabiskan waktunya di markas di banding pulang, tapi takdir berkata lain.
"Baik, ayah." Sarah tersenyum ramah walau ayah Satya terlihat tenang dan berwibawa.
"Bagus—" di tatapnya Satya. "Dan kamu, bagus karena ga bikin lagi masalah di kampus." di tatapnya Satya yang terlihat bosan itu.
"Hm."
"Respon yang sopan! Ayah yang ngomong, bukan seumuran kamu!" seru Revano marah.
Satya berdecak. "Tahu kok! Emang bawaannya males ngomong sama pembohong kayak ayah! Alasan ga pulang karena sibuk tapi ternyata selingkuh! Udah punya anak lagi!" serunya tak kalah emosi.
Sarah menelan ludah, Satya terlihat sama emosinya dengan pria tua di sebrangnya itu.
Raya memejamkan matanya, menahan agar tidak mengeluarkan air mata.
"Kita jarang punya waktu gini, tolong, jangan—"
"Bunda mau aku biasa aja di saat bunda sakitin diri demi aku? Agar aku ga broken home, gitu? Lakuin semua itu justru lebih bikin aku hancur! Kenapa bunda ga ngerti sih! Dia!" tunjuknya pada Revano dengan tidak sopannya. "Punya selingkuhan, janda anak satu yang sekarang dia lagi HAMIL ANAK DIA!" teriaknya dengan nafas memburu.
Raya menunduk, tangannya semakin kuat mengepal di samping piring yang bahkan makanannya belum dia sentuh.
Revano menatap Satya dengan menahan emosi. "Apa di sini cuma ayah yang buruk? Kamu ngerti apa soal orang dewasa, apa kamu ga bisa fokus kuliah aja dan jangan ikut campur kalau kamu tidak paham urusan orang tua!" balasnya dengan tangan terkepal.
Revano merasa sangat sedih, semua kehidupan bahagianya mulai terkikis dan hancur.
Rasanya baru kemarin dia tertawa bersama Satya yang masih kecil, periang dan jahil itu.
Kenapa waktu berlalu membuatnya sakit bukan bahagia.
"Ah gairah maksud ayah? Banyak kali, dewasa dalam hal apa?" tantangnya dengan angkuh.
Revano melirik Raya, kilat matanya begitu bercampur emosi. Antara sedih, kecewa, takut dan marah. Ketara sekali.
"Puas kamu? Padahal kita bisa berjuang sama-sama, bisa kayak dulu dan kamu malah seenaknya bikin sosok aku buruk di mata anakku sendiri. Setelah semua begini, apa bisa di perbaiki? Terlambat bukan?" Revano beranjak, dia lebih baik kembali lari dari pada semakin menghancurkan semuanya.
Kini Satya menatap Raya, meminta bundanya menjelaskan namun lagi-lagi Raya menghindar dan memilih berlalu bahkan tidak mengejar Revano yang meninggalkan rumah.
Satya menepis tangan Sarah yang mengusap lengannya, ditatapnya tajam lalu berlalu.
Harusnya tidak Satya lampiaskan pada Sarah, tapi melihat Sarah menyaksikan semua kekacauan keluarganya membuat Satya entahlah. Dia tidak paham dengan perasaannya.
***
Satya berlalu keluar, seperti biasa, setiap tanggal 10 di setiap bulan, dia akan pergi ke sebuah tempat.
Sosok laki-laki seusianya terbaring lemah dengan dibantu alat-alat medis. Suara detak jantung membuat Satya lega karena itu tandanya dia masih hidup.
"Hampir gue lupa, gara-gara masalah tadi siang. Cepet sadar, gue nunggu lo sadar biar semua kelar."
Satya menghela nafas, berbicara beberapa kalimat lalu kembali pulang ke rumah.
"Dari mana?" suara Sarah terdengar khawatir, menyambut Satya yang baru pulang itu.
"Bukan urusan lo!" Satya berlalu masuk ke kamarnya, mengabaikan Sarah yang ikut masuk dan bahkan mengkunci pintu.
Satya melepas kaosnya dengan menaikan satu alis. "Ngapain di kunci, lo di sini lagi. Lo masih mens, ga bisa gue garap!" ceplosnya.
Sarah menghampiri Satya, mood Satya terlihat masih sekacau tadi siang.
Sarah merentangkan kedua tangannya. "Mau di peluk? Cuma hiburan kayak gini yang bisa aku kasih." luluhnya. Dia tidak akan membalas sama keras.
Satya menatapnya agak lama sebelum menariknya rebahan dan di peluknya erat.
Keduanya terdiam.
Sarah yang ingat sesuatu sontak melepaskan diri, mengecup bibir Satya sekilas.
Keduanya saling terkunci, tak lama keduanya sudah berpagutan panas, bahkan sampai berguling-guling di atas kasur Satya yang luas itu.
Sarah melepaskan pagutannya dengan posisi setengah duduk di atas tubuh Satya.
"Kamu pernah minta, mau di servis pake tangan, bahkan minta pake mulut."
"Dan lo nolak, lo ga mau."
"Kamu masih mau?"
"Lo masih di dumpel, jangan pancing gue. Mood gue lagi ga bagus, Sayang."
Sarah tahu. Sarah mengecup rahang Satya, turun ke leher dan turun lagi ke dada Satya yang tidak tertutup apapun.
Kebiasaan Satya yang tidur selalu melepas pakaian atasnya.
Satya mulai tak karuan saat kecupan Sarah merambat dari dada ke perut. Satya sontak menahan bahu Sarah.
"Jangan siksa gue." Satya menatap Sarah serius. "Lo emang mau mulut ini—" di usapnya bibir Sarah. "Penuh sama punya gue?" lanjutnya.
Sarah tersenyum lembut. "Asalkan janji, jangan marah, kalau bisa selesein semuanya dengan baik-baik. Semua tindakan sama pilihan pasti ada alasannya." tatapan Sarah dan Satya terkunci. "Orang dewasa itu rumit, kalau kita ga banyak bertanya dan sabar pasti kita nyesel nanti." lanjutnya.
"Tanya bunda baik-baik, mereka sama tersiksanya kayak kamu, Satya." sambung Sarah dengan begitu lembut, bahkan mampu membuat Satya terhipnotis dan hanyut.
Satya meraih wajah Sarah, memagut bibirnya dengan lembut dan penuh perasaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gairah Anak Muda (TAMAT)
RomanceSatya, anak muda yang memiliki gairah yang berapi-api. Khususnya gairah dalam tanda kutip. Dia melakukan s*ks bebas, balapan, mabuk-mabukan dan hal lainnya. Hingga suatu hari, Sarah datang sebagai anggota baru di keluarganya. Anak baik-baik yang ing...