Bab 25 | (Masih) Dengan Papa Siaga

13.9K 1.6K 120
                                    

Asik... malem minggu lagi nih?

Haaaa, 2,5k words. Hepi riding :)

Typo(s)

Setiap kali ada seseorang yang meragukan organ tubuhnya saat ini, hampir bisa dipastikan itu adalah si gadis berambut sepunggung. Dia yang sejak tadi diam saja, berdiri termenung berkelana di dunia fantasi. Menopang kepala dengan satu tangan sambil menatap langit malam.

Sendirian di balkon kamarnya, Killa meninggalkan Kiel yang tidur mengguling di atas kasur. Setelah membuat tumpukan bantal dan guling sebagai pembatas tentu saja.

Untuk seseorang yang tidak terlalu tertarik dengan pelajaan biologi, wajar saja jika dia jadi bertanya-tanya soal reaksi membingungkan di beberapa bagian tubuh. Mungkin sedikitnya pemahaman soal ilmu itulah jadi penyebabnya.

Anehnya, reaksi itu cenderung terjadi di waktu-waktu tertentu saja. Seperti memiliki pemicu di luar batas kendalinya. Sesuatu yang bahkan sulit diamati apalagi diprediksi.

"Makin lama lo ngomong, makin lama kita pelukan."

Mendadak saja kalimat itu terngiang.

Wajah dan aura si pemilik suara, merupakan sesuatu yang masih sangat baru bagi Syakilla. Orang asing yang tiba-tiba saja jadi orang berposisi krusial di hidupnya—kelak. Riak itu, masih melekat di ingatan. Datar tanpa ekspresi, namun begitu menuntut.

Ada sisa kehangatan dari setiap tubuh liat yang menempel erat dengannya tadi pagi. Tiap lekuk yang tertutup kaos santai dan harum. Juga lengan besar yang melilit mantap di tubuh mungil, hanya memaksa keduanya untuk kian merapat.

Alunan bariton merupakan tirani yang tidak bisa dielak. Apapun perintah yang mengalir dari bibir tipis, jadi satu keharusan. Mata cokelat terang adalah teduh sekaligus terbakar. Terutama saat sepasang mutiara hitam telah terjebak dalam cangkupan intimidasi intensnya.

"Kami, orang tua kamu."

Mata Syakilla melebar.

Susah payah dia membasahi kerongkongan ketika otak memutar ulang semua memori hari ini. Berusaha meyakinkan diri sendiri apakah itu realita atau ilusi akibat kekurangan oksigen—atau jangan-jangan karena serangan jantung kecil yang dialaminya akhir-akhir ini.

Bibir kecilnya bergetar kaku. Dengan dua netra yang mulai berembun kebingungan, serta cemas bergulung dalam batin. Dia meremas kedua tangan.

Sesuatu sedang terjadi. Sesuatu benar-benar sedang terjadi.

***

Ternyata pekerja di rumah ini ada beberapa yang sudah datang. Lebih pagi dari hari sebelumnya hingga sarapan sudah terhidang rapi. Mereka tidak perlu memesan sarapan lagi dari luar.

Namun demikian, meski rumah mulai ramai, meja makan tetap seperti kuburan. Memiliki banyak kursi tetapi hanya dua terisi. Tentu, seandainya saja Kiel tidak berceloteh

Beruntung si bayi cerewet tengah berulah dengan bibir mungilnya. Duduk di baby highchair krem sambil memainkan mainan berwarna pelangi. Tray cokelatnya sudah mulai belepotan setiap kali si pemilik mengelap sisa makanan di bibir lalu mengacaknya lagi di tray. Suasana jadi tidak terlalu sepi.

Azka masih seperti biasa. Irit bicara—atau boleh dibilang memang bisu. Cowok itu tidak mengatakan apapun sejak mengambil duduk di kursi kepala. Gayanya sangat anggun menyuap tiap sendok makanan. Sesekali mata elangnya mengintip ke ponsel tiap kali si kotak pipih berdenting.

Syakilla bahkan tidak tahu apa yang harus dia lakukan hari ini. Dia sungguh buta soal jadwal mereka selama di Bali. Apa mereka punya kelas, atau kegiatan lain, Azka jarang memberitahunya kecuali mendadak. Dia sendiri juga terlalu malu untuk bertanya.

90 Days, Education Of Being ParentsWhere stories live. Discover now