Bab 6

1.4K 393 68
                                    

“Jadi meskipun kamu tahu bahwa korban sudah nggak bernapas, kamu tetap menelpon ambulans?” Ismail bertanya sambil menatap lekat-lekat mata biru langit di hadapannya.

“Saat itu saya berpikir, mungkin Gibran masih bisa diselamatkan.”

“Tapi nyatanya nggak.”

Sunyi untuk sekian sekon. Pemuda berambut biru langit di depan Ismail bergeming. Sejak Ismail menemuinya, lelaki ini memang tergolong lebih banyak diam. Dia hanya menjawab pertanyaan, bukan menjelaskan. Ismail membutuhkan cara ekstra untuk mencungkil informasi darinya.

Ismail memperbaiki posisi duduk. Pria berkemeja putih polos itu melirik catatannya lagi. Menyambungkan analisis berdasarkan aduan pemuda di hadapannya.

Masih gelap, pikir Ismail dengan napas tenang. Kasus ini punya banyak kemungkinan. Hasil autopsi belum keluar, sementara pengakuan dari para saksi pun belum seratus persen valid. Apalagi satu dari empat orang itu selalu menghindar setiap dimintai keterangan.

Empat saksi dengan serempak mengatakan bahwa Gibran Mahendra tewas begitu saja. Lebih tepatnya setelah empat orang itu mengira Gibran tertidur dalam dua jam terakhir. Tidak ditemukan tanda-tanda serangan jantung maupun stroke. Yang lebih mengherankan lagi, lima orang di ruangan (termasuk Gibran) makan dan minum hal yang sama pula.

Sampai saat ini empat orang di ruangan yang bersangkutan masih berstatus sebagai saksi. Bukti yang masih dalam tahap pencarian belum bisa membawa nama-nama tersangka. Adapun posisi Ismail saat ini adalah konsultan hukum yang disewa keluarga Angkasa atas tuduhan pencemaran nama baik. Media sempat menyoroti kasus ini. Tuduhan tidak berdasar dan caci maki tidak manusiawi dilayangkan pada sang anak kesayangan.

Namun meski demikian, Ismail merasa tugasnya bukan hanya untuk pasang badan atas kasus pencemaran nama baik. Ini jelas kasus yang melayangkan satu nyawa. Cepat atau lambat, ia akan diminta untuk menangani kasus ini lebih dalam. Dan sebelum kliennya benar-benar tertarik makin jauh, Ismail ingin satu langkah lebih depan. Yakni dengan mengumpulkan segala informasi.

“Bisakah kamu ceritakan sedikit tentang hubungan kalian?” tanya Ismail pada pemuda berambut biru langit. “Kamu, tiga orang lain, dan juga Gibran.”

“Kami teman SMA.”

Ismail kira akan ada sambungan, tapi rupanya kliennya ini langsung mengatupkan rahang.

“Kalian semua akrab?”

Kliennya mengangguk.

“Termasuk Kasta dan Gibran?”

Sepi tidak ada jawaban. Ismail menanti sambil memandang lama ke arah pemuda berambut biru langit. Ketika melihat embusan napas yang sedikit berat, Ismail tahu pancingannya mulai disambut.

“Gibran bukan bagian kami,” pemuda berambut biru langit itu mengaku. “Hari itu dia datang tanpa diundang.”

“Maksudnya, kamu bahkan nggak nyangka dia datang di hari itu?”

Pemuda di depan Ismail mengangguk satu kali. Kalau pengakuan ini divalidasi, Ismail yakin kliennya hanya sedang apes. Niatnya mau reuni dengan kawan lama, tapi malah terseret pada kejadian tidak mengenakkan. Lagipula sejauh ini tidak ada hal yang janggal dari pemuda ini. Dia hanya menyiapkan tempat kumpul. Hubungannya dengan Gibran pun terhitung baik.

“Soal hari itu, kira-kira dalam rangka apa kalian bertemu?”

“Hanya reuni kecil-kecilan.”

Sambil membetulkan posisi kacamata Ismail bertanya lagi, “Jadi kalian memang lepas kontak setelah lulus SMA?”

“Ya, kecuali dengan Sagita.”

“Omong-omong, bisakah kamu ceritakan detik-detik sebelum Gibran tertidur?”

They Did ItWhere stories live. Discover now