Madu dan Racun

1.1K 358 254
                                    

"Anggap saja cuma obrolan ringan. Sengaja saya pilih kafe ini agar kesannya bukan seperti interogasi, apalagi intimidasi."

Ismail membuka percakapan dengan dua gadis di hadapannya. Yang satu masih memakan seragam batik resmi, sementara satunya lagi tampak kasual dengan kaos putih dan jins. Ismail melihat perbedaan mencolok di gadis kedua. Dia yang biasa bersinar cerah dengan riasan ini itu, kini justru lebih mendung. Polesan make up-nya tipis dan awan hitam seperti menggantung di atas kepalanya.

"Anda pasti dipaksa Papa Mama Vishal, kan, Pak?" ujar gadis dengan wajah mendung.

"To be honest, memang iya," kata Ismail. "Mungkin mereka pikir saya ini Sinichi Kudo."

"Padahal cuma pengacara pintar yang namanya melejit sejak kasus pemukulan tempurung kepala."

"Makasih sanjungannya, Bu Guru Milan." Ismail membetulkan posisi duduk. "Sejujurnya saya bingung harus bertanya yang mana dulu. Kita dihadapkan dua kasus sekarang. Yang tersisa cuma kalian."

"Masih belum ketahuan apakah kasusnya berhubungan atau nggak. Apa Bapak yakin kami berdua bisa membantu?" kata Milan.

"Nggak ada salahnya mencoba, kan?"

Kalau boleh jujur, rasanya Ismail sudah ada di ambang batas. Bukan saja kasus yang sangat gelap, tetapi juga hari ini terasa lebih berat lantaran Bee serius dengan ancamannya. Semalam perempuan itu tidak banyak bicara, cuma bilang, "ya sudah, semoga kasusnya bisa dipecahkan."

Ismail belum bisa memecahkan kasus pertama, sekarang muncul yang baru. Sudah tiga hari dia tidak tidur. Kepalanya mungkin akan pecah jika hari ini masih tidak terlelap. Orang tua Vishal bukan hanya mendesaknya, tetapi mereka juga menekan aparat yang bekerja. Entah bagaimana caranya, tapi kedudukan mereka membuat semua terasa berat. Mereka menuntut keadilan secepatnya.

"Kasta masih belum menghubungi kalian, ya?"

Sagita dan Milan mengangguk.

"Kalau dia nggak bersalah, seharusnya dia nggak kabur."

Sagita diam tapi Ismail sempat melihat ketidaksetujuan melintas di matanya.

"Dia selalu begitu. Memilih menghindar ketimbang klarifikasi."

Lagi-lagi Sagita cuma melirik.

"Ini —— "

"Dia mungkin punya alasan lain."

"Git, masih juga lo belain dia?" Milan menatap tidak percaya.

"Nggak ngebela," tukas Sagita. "Belum ada pernyataan resmi dari polisi. Kalau ternyata Kasta nggak bersalah gimana?"

"Kita pernah ada di situasi ini. Waktu masalah Jinan, lo ingat? Dia ngehindar juga. Dan kenyataannya, dia ngebohong, kan?"

Ismail menyimak perdebatan dua perempuan di hadapannya. Ingin menyela tapi niat itu diurungkannya. Dibiarkan saja mereka berbicara sampai puas.

"Dua hari lalu Om-nya Kasta datangin gue."

Ismail dan Milan sama-sama mendongak.

"Itu, bapak-bapak yang selalu datang pas Kasta dipanggil BK."

Sagita berujar, Milan mengangguk ingat, Ismail tidak paham.

"Dia bukan Om-nya, Mil. Dia cuma orang asing yang ngurus Kasta dari kecil."

"Terus korelasinya apa?"

"Dia bilang Kasta nggak mungkin ngelakuin itu."

"Dan lo percaya gitu saja?"

Sagita diam. Sesaat merasa menyesal sudah bilang soal Om-nya Kasta. Ini memang tidak ada korelasi tapi ketika Milan terus menyudutkan Kasta, ia refleks ingin memutuskan tuduhan. Ia tidak tahu benar tidaknya Kasta adalah pelaku. Tapi satu yang pasti, sedikit cerita Om-nya Kasta membuatnya sadar. Bahwa lelaki itu punya kisah sedih yang tidak diketahuinya.

They Did ItWhere stories live. Discover now