🔽16

22 5 3
                                    

"Ji, sebelumnya maaf. Tapi gue minta, lo jangan pernah hubungin gue lagi."

Jujur saja, mendengar satu kalimat itu, membuat senyum yang hendak ia beri mendadak luruh. Ada gemuruh tak nyaman di dalam hati si lelaki. Ia memandang gadis itu dengan tatapan yang sulit dimengerti. Dia memandang gadis itu bingung, namun disisi yang lain, ia mendesah kecewa.

Sebab ternyata, Park Jihoon berharap terlalu banyak.

"Kenapa?" tanyanya terdengar begitu kecewa. Dia bahkan memberikan satu senyum samar. "Kenapa gitu, Ris?"

"Gue juga nggak bisa memberi apa yang lo inginkan."

Jihoon lantas mengerjap. Dia tertawa pahit. "Apa lo bahkan tahu apa yang gue inginkan?"

"Your feelings."

"Gue udah bilang itu bukan sesuatu yang perlu lo beri jawab sebab gue hanya ingin lo tahu," balasnya. "Ris, are you okay?"

Untuk pertama kalinya, setelah sekian yang begitu lama, gadis itu tersenyum, tapi untuk berkata, "I don't think I'm okay,"  Iris bahkan menghela napasnya. "Tapi itu bukan sesuatu yang perlu lo khawatirkan."

"Why?"

"Huh?"

"Kenapa itu bukan sesuatu yang  perlu gue khawatirkan?"

Disana, dengan semilir angin yang berhembus pelan menerpa rambut Choi Iris yang dibiarkan tergerai, gadis itu tidak membalas dengan kata-kata. Sepasang bola matanya malah menatap lelaki yang kentara sekali tengah menahan emosinya.

"Gue nggak ngerti, Ris, sumpah," dia membalas kelewat jengah, sebab rasanya sabar yang ia miliki tak menghasilkan apa-apa. "Kenapa sih lo terlalu susah untuk ditebak? Kenapa lo menjauhkan diri lo dari orang-orang?" katanya, sarat frustasi. "Tapi lebih dari itu, Ris, kenapa lo jauhin gue tiba-tiba?"

Iris terdiam selama beberapa detik, terlihat terkejut untuk sesaat sebab selama ini, Jihoon jarang sekali mengutarakan keluhan padanya. "...maaf."

Park Jihoon meremat rambutnya, berdecak kesal. "Lo tahu nggak sih kalau gue khawatir sama lo? Nggak, ya?"

Gadis itu mengerjap kelewat cepat, tidak menduga suara lelaki itu akan meninggi.

"Apa lo tahu menghilangnya lo tanpa kabar perlahan-lahan membuat gue hampir gila setiap harinya?!"

"Ji..."

"Do you know how does it feels to hate things you don't, even at all?!"

"Maaf..."

"Terus aja, terus lo minta maaf," Jihoon mengeluarkan semua yang ia tahan selama ini. "Maaf lo tuh untuk apa, Ris?"

"Semuanya," bahkan disana, Choi Iris tak mampu menatap sang lawan bicara. Dia menunduk, memainkan jemarinya yang perlahan gemetar. "Karena nggak membalas chat lo, nggak memberi lo kabar, membuat lo menunggu," ia menjeda, kerongkongannya merasa pahit tiba-tiba. "...membuat lo menunggu jawaban atas apa yang lo bilang ke gue waktu itu."

Jihoon ingin sekali rasanya meraih tangan gadis itu, merematnya untuk memberi tahu bahwa pikirannya tak perlu sejauh itu. Namun itu berakhir dengan ia mengepalkan tangannya sendiri. "Harus berapa kali sih gue bilang kalo lo nggak perlu menjawabnya?" katanya, kesal. "Gue chat lo berkali-kali, untuk meyakinkan kalo lo nggak menjawab itu."

"Tapi, Ji..."

"Apa lo tahu betapa menyesalnya gue bilang semua yang gue rasain ke elo?"

Mendadak, mata Iris memanas. Ada nyeri terasa di dadanya.

"Ris," panggil pemuda Park itu. Dia merendahkan suaranya, sadar jika ia berbicara dengan terlalu tinggi dan bisa saja jika emosinya meluap, dia akan membentak gadis itu seperti orang kehilangan akal. "Apa lo tahu rasanya dijauhin tiba-tiba sama orang yang suka?"

"Ma..maaf, Jihoon..," Iris mulai terisak kecil.

Pemuda itu menghela napasnya panjang, sadar dengan raut wajah si gadis yang berubah murung. Belum lagi matanya yang sudah berkaca-kaca. "Gue nggak butuh maaf lo, Ris," katanya. "Capek denger maaf lo, tahu nggak? When you don't realize what's your problem at all."

Choi Iris terdiam. Takut jika ia mengeluarkan suara, air matanya malah jatuh semakin deras. Sebab dadanya terasa sesak. Sebab dia tak menginginkan ini. Sebab ini juga salahnya.

Tapi apa Jihoon berkata terlalu kelewatan?

"Bahkan setelah kayak begini, lo tetap diam, Ris," balasnya, setelah mengontrol emosi juga suaranya. Dia menjeda selama beberapa detik sebelum menyambung lagi. "Yaudah kalo itu mau lo."

Perempuan itu mendongak, menatap sang lawan bicaranya.

"Oke, gue nggak akan telepon atau chat lo. Lagipula, sebentar lagi ujian nasional 'kan?" tanyanya tanpa lagi mengharap jawaban. "Gue juga minta maaf kalau semua tindakan dan ucapan gue nyakitin lo, Ris. Sampai lo nggak bisa ngomong apa-apa. Maaf, dah," pemuda itu menganggukan kepala kecil saat mendengar suara bel masuk. Dia pikir, dia akan kekurangan waktu untuk membicarakan banyak hal. Namun ternyata, semua diluar kendalinya. Tidak ada yang bisa Jihoon duga, pun bisa diekspetasikan. Sebab semuanya memang terlalu abu-abu. Segalanya seolah pupus, bahkan ketika itu belum dimulai sama sekali. "See you when I see you."[]

running low | jihoon ✓Where stories live. Discover now