🔽21

13 6 0
                                    

Pernah suatu kali, pada saat keduanya tengah berteduh sebab hujan juga tak kunjung berhenti sejak pagi, di perpustakaan sekolah yang ruangannya cukup dingin, mereka menghabiskan waktu berdua. Memilih meja yang berada cukup pojok agar lebih mudah berbicara, mereka berpura-pura mengambil sebuah buku untuk membaca.

"Ah gitu," respon Jihoon sambil tersenyum menahan tawa saat mereka tengah berbagi cerita. "Kalo lo sukanya yang kayak gimana?"

"Makanan?" Gadis itu terdiam sesaat, tengah berpikir dengan jari mengetuk dagu. "Gue suka semua sih. Hampir. Kecuali timun."

Namun kepala cowok itu malah menggeleng. "Bukan itu," katanya. "Kalo lo suka cowok yang kayak gimana? Tipe atau kriteria."

Mata Iris mengerjap. Dia tidak tahu bahwa pertanyaan Jihoon sebelumnya memiliki makna lain. Sebab sejak tadi mereka hanya berbagi hal-hal ringan bersama. Mendadak jantungnya berdebar tanpa bisa dikendalikan, Choi Iris berdeham. Memandang cowok itu agak ragu. "Emang kenapa?"

"Gue penasaran."

"Kenapa penasaran?"

"Jawab dulu pertanyaan gue yang tadi, baru setelah itu gue jelasin kenapa gue nanya."

Gadis itu terlihat salah tingkah, apalagi dari cara Jihoon menatapnya dengan mata yang berbinar. Dia menunduk, membalik selembar sebuah buku dengan gugup. "Gue nggak tahu."

"Eiy, mana mungkin."

"Apanya?"

"Kalo lo nggak tahu kriteria cowok yang lo suka kayak apa."

"Beneran."

"Nggak heran mengingat lo orang yang seperti apa."

Mendengar kalimat itu, kepala Iris menatap sang lawan bicara, kemudian mengerutkan alisnya. "Memang gue orang yang seperti apa?'

"Lo lebih cinta belajar," sahut Jihoon. "Iya, kan?"

Ada sesuatu yang menyentil pada raga si gadis. Namun entah itu apa. "Mungkin."

"Gue jadi penasaran," Jihoon menundukan kepala. Berpura-pura membaca buku yang ada di atas meja demi gengsi juga agar gadis itu tak mengetahui bahwa sejak tadi, degup jantungnya bertalu kelewat keras. "Apa gue bisa jadi orang itu."

"Apanya?"

"Menjadi kriteria yang lo suka."

Hening setelahnya. Iris terlampau terkejut mendengar ucapan terang-terangan si lelaki meski tahu dia memang seperti itu, dan Jihoon yang tanpa gadis itu ketahui sudah keringat dingin dibuatnya.

Ruang perpustakaan yang semua dingin sebab hujan cukup deras dan suhu pendingin ruangan cukup rendah mendadak terasa hangat bagi kedua insan manusia itu. Tidak ada yang bersuara satu menit lamanya, hingga satu sekon kemudian, Iris membalas. "Would you?"

Kini gantian Park Jihoon yang dibuat mengerjap, sebab tak menduga balasan dari si gadis pendiam. "Jangan becanda dong, Ris."

"Huh?"

"Gue udah deg-degan soalnya," ujar Jihoon kelewat jujur.

Kala itu, Choi Iris hanya tertawa. Namun Jihoon tak memaksa akan keseriusan ucapannya sebab lelaki itu memang ingin mengambil langkah dengan pelan, tak terburu-buru, dengan pasti.

Jihoon tak pernah mengira bahwa setelah kian detik, menit, hari, minggu dan bulan yang sudah berlalu begitu lama, cowok itu merindukan suara tawanya. Dia merindukan suaranya. Dia merindukan senyumnya. Dia... merindukan sosoknya, begitu besar.

Park Jihoon juga tidak menyangka, setelah waktu yang lama itu, dia akan bertemu si gadis dalam kondisi yang berbeda. Kondisi yang... buruk. Sangat buruk hingga mampu membuat lelaki itu menangis tanpa suara. Dadanya terasa sesak, kerongkongannya terasa tercekat. Dia bahkan sulit mengeluarkan sepatah kata saat menyadari, bahwa luka terbuka di pergelangan tangan Iris bukan satu-satunya.

Ada banyak bekas. Ada banyak kesakitan yang terpendam disana. Jihoon bahkan tidak membayangkan apa saja kesulitan yang sudah dan tengah gadis itu lalui. Sebab ia hanya mengira, ketika Iris memintanya menjauh, cowok ituemang seharusnya menjauh.

"Golongan darah Kakak beda sama Papa," itu yang dibalas Jamie saat dokter berkata bahwa gadis itu kehilangan banyak darah karena lukanya cukup dalam dan hampir berbahaya bagi nadinya jika saja lebih dalam 0,2mm. Sayangnya, golongan darah Iris cukup langka dan rumah sakit sedang tidak memiliki persediaan. Mengerutkan kening bingung, Jihoon bahkan belum sempat mengajukan tanya, ketika Jamie lebih dulu bersuara, "Kakak dari panti asuhan."

Rasanya ada yang menyentak raga Jihoon secara tak terlihat. Dia terlampau terkejut hingga satu-satunya solusi yang mampu ia lakukan adalah memberikan broadcasting kepada orang-orang yang memiliki golongan darah serupa dan meminta bantuan mereka.

Beruntungnya, tak sampai satu jam kemudian, salah satu karyawan rumah sakit ada yang bergolongan darah sama setelah pengumuman dibuat melalui pengeras suara. Hingga Choi Iris bisa di tangani tanpa menimbulkan kekhawatiran berlebih.

Kini, cowok itu hanya duduk di koridor rumah sakit yang sepi. Sementara Jamie sudah tertidur di pangkuannya, saat bocah lelaki itu mengeluh ngantuk setelah cukup banyak menangis. Tapi sebelum bocah itu benar-benar terlelap, dia berkata pelan, "Abang..."

"Iya?"

"Jangan bilang Papa Mama kalau Kakak sakit."

"Kenapa?"

"Nanti mereka marahin Kakak lagi..."

Jihoon ingin sekali bertanya lebih jauh, namun beberapa detik setelah itu, Jamie sudah benar-benar jatuh terlelap dengan kepala menempel pada pundaknya. Setelah dirinya sudah merasa cukup tenang, cowok itu memasuki ruang rawat.

Disana, gadisnya terbaring lemah. Tubuhnya lebih kurus dari terakhir kali Jihoon bertemu dengannya. Wajahnya terlihat pucat dan bibirnya terlihat kering. Di dekat lengannya yang terpasang infus, perban terbalut. Bekas luka yang kecil namun membuatnya kehilangan banyak darah.

Setelah membaringkan Jamie diatas sofa di sudut ruangan dengan hati-hati agar tidurnya tak terganggu, Jihoon melangkah lemas dan duduk di samping brangkar gadis itu.

Untuk beberapa saat, Jihoon hanya mampu menatapnya. Meski terdengar tidak tepat, namun hanya melihat presensinya sedekat ini, dia bisa melepas rindunya. Walau dalam situasi yang sangat dia tidak inginkan. Dia hanya mampu tersenyum pahit, walau kepalanya banyak sekali pertanyaan yang ingin dia ajukan.

Jihoon bisa apa kalau gadis yang ia rindukan kini tengah terbaring lemah dan memejamkan mata?

Tanpa disadari, beratus detik berlalu dan Jihoon hampir saja terlelap dalam posisi duduk, lelaki itu mendapati mata Iris terbuka perlahan-lahan. Keningnya mengerut, mengerjap beberapa kali sebelum sepasang netra itu melihatnya.

Cowok itu terkesiap. Dia hampir tidak percaya. Lalu kendati berniat memanggi petugas kesehatan, dia malah mendengar suara serak gadis itu. "Jihoon?"

Lelaki bermarga Park itu terdiam, sebab rasanya seperti mimpi.

"Kenapa gue ada disini?"

Jihoon merasa bingung. "huh?"

"Kenapa gue ada disini?" gadis itu mengulang. Hanya dalam hitungan detik, matanya berkaca-kaca. "Kenapa gue masih hidup?"

Sayang sekali, jauh disana, itu bukanlah jenis pertanyaan yang ingin cowok itu dengar.[]

running low | jihoon ✓Where stories live. Discover now