4

7.7K 498 4
                                    

Sri berjalan sambil berpegangan pada dinding. Sesekali ia berhenti dan memegangi perut bawahnya. Wajahnya meringis menahan kontraksi yang mulai datang teratur dan berulang.

Di rumah, Sri hanya sendirian. Sang suami tadi pergi memanggil dukun beranak, sudah lumayan lama sebab rumah dukun tersebut cukup jauh.

Perut Sri terasa semakin kencang. Ia mulai tak kuat lagi untuk tetap berdiri. Jadi, sembari menunggu sang suami datang, ia berjalan pelan kembali ke kamar. Membaringkan tubuh di atas tikar yang sudah di siapkan sebelumnya. 

Saat berbaring kontraksi semakin menjadi, Sri juga merasa di jalan lahir sudah basah. Ketuban pecah. Karena benar-benar tak kuat, ia mengejan sendiri tanpa panduan.

Sesekali terdengar Sri mengatur napas. Mengejan kembali sekuat tenaga. Dua kali. Tiga kali. Bayi meluncur. Tak ada suara tangis, Sri ingin memastikan tapi sayangnya ia sudah terlalu lelah.

***

Wajah seringai Mayang keluar dari bubungan sebuah rumah. Isi perutnya yang terburai tampak lebih terang dari sebelumnya. Sebab sudah tunai memuaskan hasrat iblisnya, ia pulang dan menyatukan kepala pada tubuhnya kembali.

Bleb .... Bleb ....

Suara aneh itu muncul saat sedikit demi sedikit ia memasukan isi perutnya. Tak perlu waktu lama, Mayang sudah kembali jadi manusia.

Cepat-cepat ia berlari kearah cermin. Memeriksa apakah wajahnya sudah lebih muda sekarang?

"Benar, kerutannya sudah pudar. Edi harus melihat ini. Semoga besok ia pulang lebih cepat." Mayang tersenyum dan menyeka ujung bibirnya yang masih menyisakan noda darah.

Kokok ayam ramai menyongsong pagi. Ada kebiasaan yang mulai hilang dari keseharian Mayang. Kali ini, ia bangun saat matahari sudah naik sepenggalah. Ia buru-buru merapikan diri, bergegas ke pasar. Ia takut jika nanti Edi pulang ia belum sempat menyiapkan makanan.

"Wah, wajah Mayang lebih segar hari ini." Komentar seorang ibu yang tengah hamil besar.

Mayang menelan ludah, ia berusaha menormalkan detak jantungnya sambil memilih beberapa potong tempe. "Iya Ndu, berkat bedak rempah dari almarhumah mertua. Mau coba kah Ndu? Biar nanti aku mampir ke rumah."

"Loh! Mertuamu meninggal Yang? Kapan?"

Mayang menyaka ujung mata. Memang ada sedikit penyesalan, ia belum sempat sekalipun bertemu pada orang tua yang begitu perhatian pada menantunya itu.

"Kemarin. Tapi cuma Edi yang pulang," sahut Mayang kemudian.

"Sabar Yang. Jalan ke kampung Edi setahuku memang susah." Ibu tadi mengelus punggung Mayang.

Entah kenapa, ada desir menyengat saat wanita itu menyentuhnya.

"Eh, Ndu! Sudah tahu kabar Sri belum? Semalam dia lahiran. Tapi, bayinya tak selamat. Kasian dia Ndu, nangis terus kayak orang stres." Ibu yang lain datang membawa kabar.

"Beneran ini Ndu? Innalillahi," tanggap Ibu-ibu lain.

Mayang dengan cepat menyelesaikan belanjanya dan pamit pulang lebih dulu.

"Oh, Mayang. Tumben belanja siang. Biasanya kamu ke pasar lebih pagi dari kami." Cegat Ibu tadi sebelum Mayang pergi.

"A-anu Ndu. Banyak cucian." Mayang beralasan. "Eh. Ndu Ami. Nanti sore Mayang antar bedak rempahnya ya." Lanjut Mayang mengalihkan topik pembicaraan.

Indu Ami yang hamil tadi, menyahuti setuju. Setelah membalik badan Mayang menyeringai.

Jadi Kuyang (Sudah Terbit) Where stories live. Discover now