Hurt

13.6K 247 14
                                    

Kedua tangannya menggenggam erat lembaran kertas putih yang telah berhasil mengoyak relung hatinya. Kedua sudut bibir itu perlahan melengkung, membentuk senyuman yang teramat manis seraya menengadahkan wajahnya dan melemparkan tatapan selembut sutra pada wanita paruh baya yang tengah duduk cemas di tepi kasur.

"Kondisi Inojin sudah membaik. Tapi, minggu depan dia harus menjalani kemoterapi," ujar Sarada selaku salah satu dokter muda yang bekerja di 'hospital blossom', rumah sakit terbesar di wilayah Tokyo.

Ino mengangguk paham, kemudian meraih lembaran kertas berisi jadwal kemoterapi putranya dengan tangan yang bergetar. Ia mencoba untuk tidak terisak pilu, saban mengingat kondisi putranya yang menderita penyakit kanker leukimia jenis AML yang cenderung sulit disembuhkan.

"Dokter, terimakasih sudah mau datang kemari untuk memeriksa kondisiku. Kau adalah pahlawan bagiku!" seru Inojin dengan raut ceria meskipun wajahnya tampak agak pucat, memandang Sarada dengan mata berbinar.

Sarada meringis iba kala mendengar seruan girang dari lelaki berparas cantik yang tengah terbaring lemah di atas kasurnya. Ia menjatuhkan tangan kanannya pada pucuk rambut lelaki itu dan mengacaknya gemas. "Sama-sama, ini sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang dokter. Dan kau harus berjanji untuk tidak menyerah pada penyakitmu, oke?"

Inojin tersenyum sumringah lalu mengangguk. "Iya, aku janji! Dan hati-hati di jalan dokter!" serunya sambil menempatkan kecupan singkat pada pipi dokter cantik itu sebagai tanda terimakasih.

Sarada terkekeh sambil mengelus pipinya yang mendapatkan kecupan. Lalu, pandangannya teralihkan pada wanita bernetra Aquamarine yang tampak memanggilnya dengan instruksi tangan. Ia mengangguk kecil seraya membuntuti langkah bibi Ino yang membimbingnya untuk keluar dari ruangan.

Ino menutup rapat pintu kamar putranya sebelum menghempaskan bokongnya di sofa, ia memberikan arahan kepada Sarada untuk terduduk di depannya. Ia menghela napas ketika maniknya menangkap raut wajah kebingungan dari lawan bicaranya, dan ketika lisannya hendak berucap, dokter cantik dihadapannya itu meletakan berbagai jenis obat di atas meja.

"Ini obat untuk Inojin, pastikan dia meminumnya sesuai dengan aturan agar kondisinya tidak memburuk seperti waktu itu," ujar Sarada memperingatkan, dengan nada bicara tegas nan luwes. Ia memandang wajah bibi Ino tanpa sekalipun berkedip.

Ino memggaruk tengkuknya yang tidak gatal dengan canggung, ia mengambil pemberian Sarada itu tampak ragu. Pasalnya, ia tidak memiliki uang yang cukup untuk membayar obat dan segala fasilitas yang diberikan oleh Sarada selama ini. Bahkan, karena kekurangan modal, putranya tidak bisa menjalani perawatan di rumah sakit, seperti yang seharusnya. Tapi Sarada, dokter muda ini dengan murah hati berkenan dipinjamkan jasanya meskipun terkadang tanpa dibayar.

"Tapi Sarada, kau tau bukan? Akhir-akhir ini toko bungaku sedang sepi jadi ...."

Sarada menyentuh kepalan tangan bibi Ino yang bergetar hebat, ia tersenyum tanpa ada beban dibenaknya. Kedua ibu jarinya mengelus lembut punggung tangan wanita yang bak ibu kedua untuknya. Ia sama sekali tidak keberatan jika bibi Ino tidak membayarnya sepeserpun karena ini sudah menjadi kewajibannya sebagai seorang dokter untuk mengobati para pasien.

"Sudah berapa kali aku bilang? Kau tidak perlu membayarku, anggap saja ini sebagai bentuk terimakasihku karena dulu kau sudah merawatku dengan sangat baik," ucapnya pelan, penuh akan kelembutan dan ketulusan.

Ino terhenyak, ia tidak menyangka jikalau gadis kecil yang dahulu ia urus karena kedua orangtuanya yang seringkali sibuk, sampai lupa arah jalan pulang, kini duduk dihadapannya dengan menyandang status sebagai Dokter yang memiliki prestasi gemilang di usia muda. Sungguh, ia terharu, seakan telah berjaya membesarkan buah hatinya sendiri.

Doctor RomanticTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang