Jejak tertinggal

1.1K 51 26
                                    

Kaki mengetuk lantai tanda jengkel, menanti kepulangan Sarada yang telah pergi ke luar kamar lebih dari tiga jam. Menghabiskan kurun waktu tiga jam lebih hanya untuk menjawab panggilan telepon terasa tidak wajar bagi Boruto. Sekali lagi tidak wajar, sangat tidak wajar.

Berulangkali Boruto berpikir hal serupa, memangnya apa yang tengah di bicarakan okeh Sarada dengan Kawaki melalui sambungan telepon? Apa mereka bercengkrama seputar penyakit kecil hingga parah sampai dengan cara penanganannya? Atau membahas secara rinci jumlah bakteri yang menghuni daging mentah dengan alat bantu mikroskop?

Oke, jika pembahasannya itu Boruto angkat tangan angkat kaki, tidak akan ikut campur.  Tapi Boruto tegaskan sekali lagi, Boruto tak tahan di gantung lebih lama dari ini.

"Hm, Sarada?!" panggil Boruto setengah berteriak. Tak mendapat balasan, ia lantas beringsut dari atas ranjang.

Berjalan menelusuri setiap sudut rumah, shapirenya tak menemukan sedikit pun tanda-tanda dari objek yang di carinya. Dimana Sarada? Dimana? Dimana?

"Sarada! Jika kau mendengar suaraku, tolong katakan sesuatu!" teriak Boruto cemas. Ia tidak takut jika ditinggalkan oleh Sarada di rumah ini dengan alasan urusan pekerjaan, tapi cara Sarada pamit ini sungguh tidak lucu!

"Sarada!"

Sembari menuruni anak tangga dan sesekali mengintip jendela terbuka, Boruto berteriak lantang. Saat emosi berkomposisi rasa khawatirnya menggebu-gebu, saat itu juga seorang wanita paruh baya menerobos pintu di depannya.

"Me—mereka membawa Sarada kabur!" Boroto melotot, buru-buru kakinya mengayun cepat menghampiri wanita bersurai merah muda itu.

"Apa maksud dari ucapan mu itu? Dan siapa kau? Seingetku, Sarada pernah bilang jika yang memiliki kunci rumah ini hanyalah ...."

"Aku orang tua Sarada!"

Degh!

Gawat. Boruto seketika bungkam, hilang akal untuk membalas perkataan wanita di depannya yang mengaku sebagai orang tua dari wanita yang dicintainya.

"Apa yang harus aku lakukan? Apa? Apa?! Putriku di bawa kabur! Bagaimana ini?!" Sakura berteriak tak diragukan histeris. Menjambak rambutnya sendiri seraya menampilkan raut kesengsaraan.

Boruto masih saja diam. Ini pertama kalinya ia bertemu dengan salah orangtua Sarada, rasanya sangat canggung sekali. Terlebih di tengah-tengah keterkejutannya jika Sarada di bawa kabur.

"Apa aku harus menelpon suamiku dan memberitahukannya tentang masalah ini?!"

Tidak. Mendengar hal itu tangan Boruto spontan mencengkal pergelangan tangan Sakura. Dengan sorot mata mantap, ia merampas ponsel yang sempat di genggam wanita itu.

"Jangan beritahu suamimu jika Sarada dibawa kabur. Biarkan aku saja yang mengurus semuanya."

Boruto ingat betul, Sarada pernah mengatakan jika papanya itu terlewat protektif. Jika pria yang entah seperti apa wujudnya itu tau putrinya di bawa kabur, Boruto sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Apa kau gila hah?! Jumlah mereka itu banyak! Mereka bahkan bersenjata, dan kau nekat ingin melawan mereka? Itu sama aja dengan bunuh diri!" teriakan Sakura kali ini mengundang air matanya sendiri untuk tumpah, wanita itu tak dapat menyamarkan rasa gelisahnya.

"Aku tidak peduli mereka bersenjata atau tidak. Tapi jika mereka berani menyentuh Sarada, aku akan menghukum mereka dengan tanpa rasa ampun."

Plak!

Hempasan tangan begitu keras menyentuh pipi sebelah kanannya. Boruto tak berkutik seperlima detik lalu menarik wajahnya yang sempat terlempar ke arah mana tamparan itu berakhir. Dan dalam pantulan shapirenya, ia menangkap genangan air mata bukti kesedihan mendalam.

Doctor RomanticTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang