Yang Tiba Tepat Waktunya (Selamat Ulang Tahun)

121 19 5
                                    

"Maaf Minju, nunggu lama ya?"

Minju mendongak, mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Ia tersenyum dan menggeleng, lantas mengunci ponselnya dan meletakkannya dalam tas yang ia bawa, "Nggak, Hii, baru juga sepuluh menit," sebelah tangannya mengibas, berusaha meyakinkan Hitomi bahwa ia memang baru menunggu sepuluh menit dan bukannya tiga puluh menit. The things you do for love.

Hitomi tersenyum dan gadis itu tak berbicara apa-apa lagi. "Udah kupesenin tadi, kayak biasa," dan Hitomi hanya mengangguk. Keduanya terdiam. Suara percakapan manusia-manusia lain menjadi musik mereka. Minju sebetulnya sedikit heran kenapa gadis itu secara tiba-tiba mengajaknya bertemu hari ini, berdua saja, padahal biasanya ialah yang mengajak gadis itu pergi—yang baru-baru ini saja diiyakan Hitomi. Ia harusnya senang bukan? Gadis itu mengiyakan ajakan kencan (jalan berdua disebut kencan, bukan?) darinya, bahkan hari ini memintanya bertemu. Harusnya ia senang 'kan?

"Maaf ya tiba-tiba ngajak ketemu," gadis di depannya itu akhirnya memecah kebisuan mereka yang disambut dengan gelengan singkat, "Nggak kok Hii, lagi santai juga. Tapi tumben banget ngajak makan siang?"

"Ada yang mau kuomongin sama kamu, Ju," dan Minju mengangguk, "Tapi nanti aja. Selesai makan," segera setelah Hitomi menyudahi kalimatnya, pesanan mereka datang. Sepanjang makan siang, mereka mengobrol seperti biasa. Hitomi memang bukan gadis yang senang berbicara—itulah gunanya kehadiran Yuri di antara mereka, sebab gadis itu selalu bisa mencairkan suasana. Namun, Minju tahu bahwa gadis ini selalu berusaha untuk memahami obrolannya, ikut terlibat dalam setiap percakapan yang ia lontarkan, dan Minju berterima kasih untuk itu. Hari ini pun gadis itu berusaha untuk mengobrol dengannya, menjaga percakapan mereka tetap mengalir, namun Minju bisa melihat bahwa mendung yang selama ini selalu hadir di matanya telah menghilang, dan sedikit banyak, Minju tahu apa yang ingin dibicarakan gadis itu padanya.

"Ju," panggil Hitomi setelah piring-piring mereka diangkat, dan Minju tersenyum, "Iya, Hii?"

"Aku mau minta maaf," gadis itu menghindari tatapannya. Alih-alih, ia memandang jemarinya yang terpilin di pangkuannya. Minju tak berkata apa-apa meski ia tahu kenapa Hitomi minta maaf. Ia ingin dengar dari mulut Hitomi sendiri, bukan berpegang pada asumsi yang ia ciptakan.

"Aku minta maaf kalau aku selama ini bikin kamu salah sangka," ada jeda sebelum gadis itu melanjutkan, "Aku tahu kok kamu suka sama aku."

Minju mendesah. Disandarkannya punggung pada kursi, lantas ia memaksakan seulas senyum tipis, "Baguslah. Aku jadi nggak perlu susah payah ngomong sama kamu, Hii."

Hitomi menggeleng, masih tak mau menatap Minju, "Maaf kalau sikapku belakangan ini bikin kamu berharap lebih. Aku nggak bisa Ju. Kamu baik, tapi aku bukan orang yang tepat buat kamu."

"Nggak gitu, Hii," Minju akhirnya berkata, "Bukan kamu yang nggak tepat," ia menghela napas sebelum melanjutkan, "Hati kamu emang bukan buat aku 'kan dari awal? Ada orang lain 'kan?"

Hitomi mengangguk dan perlahan mengangkat pandangannya, "Maaf kalau aku—"

"Si penyanyi kafe 'kan?"

Hitomi terdiam, tak mampu mengiyakan atau berkata tidak. Minju lagi-lagi tersenyum, "Awalnya aku heran kenapa kamu seneng banget aku ajak ke Dwimatra meskipun kita nggak pernah berhasil dapet kursi. Kamu malah minta take away, nggak mau turun juga dari mobil, padahal kita tahu Yuri kerja di sana. Kamu cuma bilang nggak mau ganggu Yuri kerja. Tapi," Minju menarik napas, "Tapi kamu kayak—sengaja nahan kita lama-lama di sana," ujarnya.

Hitomi kembali menundukkan pandangannya, tak lagi menatap Minju. Gadis itu melanjutkan, "Wajahmu juga kelihatan kecewa kalau pas kita ke sana, nggak ada live music, atau yang nyanyi Yuri sendiri. Lagu yang kamu putar di mobil—aku baru sadar belakangan kalau lagu-lagu itu juga lagu-lagu yang sering mereka bawain di kafe."

Lost and FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang