XIII. Ayah untuk anaknya

1.7K 190 6
                                    

Arta masih setia memeluk Ananta. Berbeda dengan si bungsu, Alaska memilih mengurung diri. Entah menangis atau apa, yang pasti setelah Ananta membentak Alaska suasana rumah langsung diam, tak ada yang bicara sedikitpun.
"Mulutnya gak boleh dipake buat ngomong kayak gitu.."

"Aku goblok banget.. bikin nenek bangga aja gak bisa"

Arta mengeratkan pelukannya agar Ananta diam, bungsunya sudah diluar kendali sekarang. "Ananta.."

"Kenapa sih cucu nenek bukan kak Aska doang? Kenapa harus ada aku?!"

"Heh..."
Arta menangkup pipi Ananta, membuat nya menatap wajahnya sekarang. "Ayah ajarin mulut kamu buat bicara yang baik-baik loh, bukan kayak gini. Dan kalau misalnya kamu gak ada ayah bisa apa sekarang?"

"Ayah juga bohong. Bunda juga bohong. Kalian sama-sama males buat ngeladenin anak tolol kayak aku"

"Kamu anak pintar, Anta.. kamu anak yang sangat pintar sampai ayah bangga sama kamu. Ayah yang berdoa supaya dapet anak satu lagi buat jadi temen Aska masa ayah telantarin? Ayah dosa dong kalau gitu"
Arta kembali memeluk Ananta, mengusap kepala perlahan sambil menyuruhnya untuk diam.
"Kak Aska ganggu privasi aku yah... Gak sopan.."

"Maafin dia ya? Mungkin dia khawatir sama kamu"

"AYAH SAMA AJA KAYAK NENEK! BISANYA BELA KAK ASKA!"
Arta tak melepaskan pelukannya walau Ananta sudah memberontak minta di lepas. "Ananta.."

"Lepasin! Ayah sama aja kayak nenek! Dimata kalian cuma ada kak Aska! Selalu nyebut dia didepan orang!
Pernah gak banggain aku?! Enggak kan!? Aku tau!! Ayah cuma pura-pura baik doang didepan aku! Ayah cuma pura-pura marah sama kak Aska karena ayah cuma sayang dia!!"
Tangannya tak segan memukul tubuh ayahnya sedikit keras, tangisannya pecah seiring dia terus menyalahkan Alaska. "Ayah cuma sayang dia... Gak ada yang sayang sama aku.. aku gak ada dimata kalian.."

"Tidur ya?"

"Gak usah sok perhatian!! Ayah cuma cari muka doang! Ayah sengaja bikin aku kayak gini! Ayah sebenarnya gak pernah nganggap aku ada"
Ananta semakin memberontak. Bahkan Arta sesekali mengaduh saking kuatnya Ananta.
"Lepasin!!!!"

Arta melepaskan pelukannya. Membiarkan Ananta dengan nafas memburu, menatap tajam ke arah Arta. "Udah marahnya?"

"Kalau belum beresin aja dulu.."

Ananta mengalihkan pandangannya,
"Ayah gak pernah pukul kak Aska kalau salah. Tapi ayah selalu hukum aku.. ayah pukul tangan aku pake sabuk sementara ayah gak pernah pukul kak Aska kalau dia salah.
Ayah jahat"

"Ayah cuma bikin aku ngerasa spesial doang. Padahal ayah paling males kalau harus lakuin sesuatu buat aku, gak kayak kak Aska. Kak Aska minta sesuatu ayah selalu beliin, kak Aska mau makanan selalu ayah pesenin. Tapi ayah gak pernah pesenin makanan yang aku mau"

Arta menarik nafasnya, entah apa yang harus dia lakukan saat Ananta sedang seperti ini. "Ayah mau beliin. Tapi gak tau kenapa setiap ayah mau beliin makanan buat kamu uangnya selalu aja gak ada"

"Ayah cuma ngasih buat kak Aska doang"

"Ingat waktu ayah pulang jalan kaki ke rumah? Uang yang ayah udah simpen buat beliin kamu makanan yang kamu mau kepake buat benerin mobil.
Ingat waktu ayah pulang dianterin temen? Uang yang ayah simpen juga kepake karena temen ayah pinjem buat beli bensin. Dan waktu ayah pulang malem sekali, ayah gak sengaja beli makan buat ayah sendiri disaat kamu nungguin ayah dirumah.
Anak bungsu ayah.. ayah harus apa biar kamu gak marah lagi?"

"Kak Aska pernah ngerokok.. ayah gak marahin. Kenapa waktu aku mau nyoba kak Aska malah bentak-bentak di tempat umum? Aku baru mau nyoba.."

Arta bingung mau jawab apa. Dia merentangkan tangannya sambil menatap Ananta. "Sini ayah peluk lagi"

Bungsunya ArtanegaraDonde viven las historias. Descúbrelo ahora