XXXI. Si bungsu untuk sulung

1.4K 127 4
                                    

"Sayang... Anaknya bunda..."
Alaska memalingkan wajah, dia memilih menatap ke arah lain dibandingkan menatap Clara. Sudah tiga hari dirinya berada disini, di rumah sakit karena saat pergi mengantarkan Jio kembali ke panti Alaska nyaris pingsan di tengah jalan.
Dokter bilang tekanan darah nya tinggi, ditambah Alaska yang hanya makan sedikit.

Kalau saja ada Ananta,
Ah benar... Tidak akan ada lagi.

"Kamu mau makan apa? Biar bunda beliin? Apapun, asal kamu mau makan"

Alaska menggeleng, "aku lagi gak mau"

"Tapi kamu harus makan... Kamu harus cepet sehat lagi. Kasihan ayah, dia diem-diem khawatir sama kamu"
Clara mencoba menyodorkan sendok ditangannya, berharap Alaska memakannya kali ini.
Senyumnya mengembang saat Alaska menurut, memakan nasi yang sengaja ia bawa dari rumah. Dia tau makanan rumah sakit itu gak seenak buatannya, Ananta pernah bilang gitu.
"Gapapa gak banyak, tiga suap juga gapapa"

Kepalanya bersandar, pusing sekali. Kadang dia tidak sadar memukul kepalanya sendiri karena pusing yang berlebihan. Tapi obat yang berhasil membantunya untuk tidur lebih ia butuhkan akhir-akhir ini. Bahkan tak cuma satu, kadang Alaska meminum tiga sekaligus karena ingin cepat-cepat tidur.
Arta juga sudah mengetahuinya, diam-diam dia sering mengurangi isinya agar cepat habis dan Alaska tidak meminumnya lagi.

"Ayah.. mana?"

"Gak tau, tadi katanya ada perlu dulu. Kalau udah selesai mungkin bakal kesini"

***

Arta menghela nafasnya sebentar sebelum tangannya memukul-mukul stir mobil, sidangnya ditunda. Rasanya dia ingin mencekik leher Tama sampai orang itu mati ditangannya. Walaupun kadang ada pikiran bahwa usahanya ini termasuk sia-sia, bisa apa dia kalau sudah berhadapan dengan hukum dan Tama yang kadang nekat melakukan sesuatu. "Kalau bukan kejahatan juga ayah udah bunuh dia, nta... Ayah yang bakal gali lubang khusus buat kuburan dia doang.."

Dia ingat saat dirinya yang membantu untuk memasukkan jenazah ke dalam makam yang sudah disiapkan, dia yang mengumandangkan adzan, dia yang menaburkan bunga diatasnya. "Kamu gak kasian sama Aska? Liat dia... Dia jadi sakit kayak gitu..."

Arta menyandarkan kepalanya pada stir mobil. Mendengarkan suasana di luar mobil yang cukup berisik sampai seseorang tiba-tiba masuk ke dalam mobilnya. "Ternyata lo disini"

Hansa, temannya sejak masuk kerja. Dia yang lebih sering menemani Arta pergi kemana-mana untuk urusan pekerjaan.
"Gue cariin ternyata diem sendirian di mobil, cuma ditunda bukan dibatalin"

"Gue mau bunuh dia, sa.."
Hansa terkekeh, memukul pelan kepala Arta yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri. "Kalau lo bunuh dia, lo gak jauh berbeda sama Tama yang bunuh anak lo"

"Ananta gak butuh itu. Kalau lo nekat kayak gitu yang ada Ananta yang marah. Gue temen lo, pasti gue bantuin. Ananta itu anak baik, kalau lo balesnya pake kejahatan emangnya dia terima?"

"Dia juga gak mau ayahnya jadi kayak bajingan itu"
Hansa menyodorkan sekaleng kopi yang sempat ia beli saat mencari-cari Arta. Keduanya kini sama-sama bersandar pada kursi mobil, memandang jalanan yang ramai oleh kendaraan.
"Ayo, semangat dong, jangan sampe Tama beneran ngomong gak sengaja didepan hakim. Masa hukumannya bisa dikurangin kalau dia berhasil ngecoh hakim"

"Gue takut ketemu Alaska.."

"Ah, anak lo yang sulung itu kan? Kenapa harus takut? Lo bikin salah sama dia?"

Arta menggelengkan kepalanya pelan, "Dia yang paling deket sama Ananta"

Hansa mengangguk paham, tangannya mengusap bahu Arta memberikan kekuatan. Dia juga pernah merasakan kehilangan anaknya sendiri makanya dia juga paham sama Arta. "Sekarang lo mau kemana?"

Bungsunya ArtanegaraWhere stories live. Discover now