XV. Sedikit kisah si sulung

1.3K 138 4
                                    

"kak?"
Alaska menoleh, tersenyum ke arah Ananta yang tengah memunculkan kepalanya. Tangannya mengancingkan dua kancing bajunya, dia berlari setelah Clara selesai mengompres dadanya yang sedikit memerah. "Udah gak sesek?"

"Udah kok. Lukanya kak Aska kenapa gak diobatin, nanti infeksi"
Ananta terdiam menatap Alaska yang tengah berusaha melakbani setiap potong uang agar kembali utuh. Tidak, tidak akan utuh. Arkatama menginjak-injak uangnya, sepatunya seakan menggosok uang dilantai agar semakin hancur. "Kak.."

"Bisa. Pasti bisa. Ini uang kamu. Kakak gak berhak buat ngerusakin ini semua"

"Harusnya aku bawa uangnya lebih cepat ke bank, harusnya aku gak pernah simpen uang sebanyak itu di kamar, harusnya aku selalu bawa uangnya kemanapun itu. Tama bawa semuanya, gak ada yang tersisa. Ini... Ini..."

"Udah kak, jangan dipaksain."
Ananta menahan tangan Alaska yang hendak menggunting lakban. Ananta benar, sampai kapanpun juga uang ini sudah tidak ada harganya lagi. Kemungkinannya kecil bank mau menukarkan tiga lembar uang dihadapannya menjadi uang yang baru.
Ananta merogoh saku, mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam saku celananya.

"Kata ayah.. ini buat gantiin uangnya. Maaf ayah gak dengerin kak Aska dulu waktu ngusir om Tama"

"Beda, nta.. beda. Uang yang kamu pegang sama yang didepan kakak beda. Kakak udah usaha sengaja buat ngumpulin itu, dari dulu kakak pengen banget punya tabungan buat kamu. Apalagi waktu dikeluarin, kakak seneng bisa lebih fokus buat simpen tabungan kecil buat kamu"

"Gak apa-apa.. uangnya ikhlasin aja, sedekah. Pahala buat kak Aska. Nanti Ananta bantuin kumpulin uangnya lagi, jangan lupa disimpen ke bank. Tapi kata ayah terima ini dulu. Ayah gak mau keluar dari kamarnya kalau kak Aska belum nerima ini"
Alaska menatap uang yang Ananta sodorkan, tangannya perlahan mengambilnya. Uangnya memang tidak sepadan dengan yang diambil Tama, uang yang sengaja dikumpulkan olehnya dengan kerja keras.

"Aku belum solat dzuhur.. kakak juga pasti belum"

"Kasian.. kak Aska udah balik lagi ke rumah padahal baru dateng ke tempat kerjanya. Maaf ya kak, aku belum bisa jadi kayak kakak buat lawan om Tama. Aku janji buat jadi kayak kakak, buat bikin kak Aska sama ayah bangga, buat bikin bunda nangis terharu liat aku nanti".

***

"Alaska"
Si sulung mendongak, menatap Arta didepannya sekarang. "Maaf"

"Bukan salah ayah"

"Tama keterlaluan"

"Dia mukul Ananta"
Arta langsung diam. Mengambil duduk disebelah Alaska, "Maafin keluarga ayah yang bikin kalian sedih terus. Nenek dengan Ananta, dan Tama dengan kamu"

"Keluarga ayah yang salah, bukan ayah"

"Ayah yang salah"
Alaska yang semula tengah memainkan ponsel lantas menoleh, menatap dalam Arta yang menundukkan wajahnya.
"Uang yang ayah kumpulin.. buat beli rumah.. buat kita pindah dari sini.. diambil Tama. Semuanya. Tama ambil semuanya.. kalau waktu itu ayah gak tertipu sama ucapannya yang bilang dia lagi sakit, kita pasti udah pindah dari sini.

Ayah, bunda, kamu, sama Ananta. Kita berempat pindah ke tempat yang lebih baik, kita hidup sebagai keluarga kecil dengan bahagia, kita tinggal dirumah yang nyaman dan hangat. Mungkin kamu gak bakal kehilangan uang, mungkin Ananta gak bakal kena pukul kayak tadi, mungkin Ananta gak bakal nangis tiap nenek dateng, bahkan mungkin Ananta gak akan pernah berantem sama kamu kayak kemarin.
Ayah yang salah, ayah yang telat bawa kalian pergi dari sini. Kalau saja ayah lebih cepet, kamu gak bakal masuk ke masalah yang bikin mimpimu hancur. Ayah percaya sama kamu, Alaska.. kamu anak baik. Ayah percaya diri sudah mendidik kamu sejak kecil menjadi laki-laki yang baik, yang kuat, yang penuh tanggung jawab.

Bungsunya ArtanegaraHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin