27. Kita yang Masih Bersiteru

76K 16.4K 4K
                                    

Aku tidak handal dalam hal memaafkan
Jadi kuputuskan untuk tidak melakukannya
Sebaliknya, aku berusaha keras menerima
Bahwa memang, inilah yang harus terjadi

○○○》♡♡♡《○○○

Menjelang petang, gerimis menghiasi kota Jakarta lagi. Ia membawa wangi tanah basah yang pekat, membaur bersama aroma semak belukar di sepanjang rel. Warna oranye masih ada, tapi dingin yang menyeruak seolah mendorongnya perlahan-lahan untuk menepi. Bersembunyi di balik awan berwarna abu-abu yang datang dalam jumlah banyak.

Di atas hamparan batu-batu yang berserak, Nana merasakan langkahnya begitu ringan. Ia tak merasa sedang melambung, hanya saja, ia seperti berjalan pada sebuah jalanan setapak yang tenang. Bukan jalanan bergelombang dan bergoyang seperti bulan juni tahun lalu. Suara-suara yang timbul dari pertemuan sol sepatunya dengan batu-batu itu membuatnya tersenyum tipis. Setelah pertemuan singkatnya dengan Ibram, Nana menyadari bahwa tidak selamanya ia berjalan pada jalanan setapak yang tenang. Seperti petang ini, sesekali ia akan berjalan pada jalanan yang berbatu, jalanan yang terasa seperti bergoyang--merenggut keseimbangan, jalanan bergelombang yang merampas segala bentuk konsistensi dan percaya diri.

Karena sama seperti apa yang pernah Bapak katakan padanya, hidup tidak selalu tetap. Dan seperti kata Jovan, hidup ini sama seperti roda yang berputar. Kita berjalan melewati banyak hal yang bahkan nyaris tidak pernah bisa kita bayangkan sebelumnya. Hidup selalu berputar pada titik baik dan titik buruk--titik yang kabar baiknya, tidak akan pernah tetap.

Sepanjang perjalanan pulang dari Rumpi, Nana beberapa kali mendongak pada langit yang berkabut. Dia berpikir bahwa setelah Sastra pergi, dunia akan runtuh. Tapi ternyata sampai hari ini, langit masih tinggi. Burung masih terbang dan waktu masih berlalu. Dan Nana tidak punya alasan untuk membiarkan hidupnya berhenti pada poros keterpurukan. Ia sadar bahwa ia harus tetap bangkit dan berjalan meskipun segalanya butuh waktu yang sangat lama.

Namun saat itu, Nana terpaksa berhenti berjalan. Ia membiarkan suara sol sepatu milik seseorang di depan sana bergesek jauh lebih jelas. Sampai akhirnya laki-laki bertubuh tinggi itu turut berhenti berjalan--sadar bahwa di sana, bukan hanya ada dirinya.

Di tempatnya berdiri, Jeffery membeku. Gerimis yang turun, kabut yang pekat, dingin yang berhembus dan tatapan mata Nana tiba-tiba saja membuatnya menggigil. Hingga tanpa sadar, kantong-kantong makanan di kedua tangannya turut bergetar. Ia menggenggamnya kuat-kuat seolah hanya kantong-kantong itulah yang bisa menyelamatkannya.

Jeffery ingin menyapa anak itu dengan sapaan yang hangat, tapi dirinya keburu bisu dan tidak bisa melakukan apa-apa. Keberadaan Adinata secara tiba-tiba di depannya saat ini membuat suara-suara dalam kepalanya kembali ramai. Bahkan ia menjadi jauh lebih berisik dari hari-hari sebelumnya.

Lalu perlahan-lahan, ia menemukan Nana bergerak. Mengambil langkah lebar untuk melewatinya tanpa mengatakan apapun. Sementara Jeffery masih berdiri ditempat yang sama, menatap sepatu conversenya yang mulai berubah warna.

"Adin," sampai akhirnya, ia bersuara. Jenis suara berat yang mampu membuat Nana mengunci kembali langkah kakinya. Seperti adegan paling dramatis di sebuah tayangan televisi, keduanya sama-sama berbalik. Namun di sana, hanya Jeffery yang enggan mengangkat wajahnya. Ia menunduk begitu dalam. Seolah berkata tanpa suara, bahwa ia sepenuhnya tenggelam di sebuah kubangan berlumpur bernama penyesalan.

Tapi lama mereka berdiri di sana--sampai pakaian keduanya menjadi basah dan lembab, masih tak ada yang kunjung bersuara. Padahal petang telah berganti menjadi malam, dan dingin perlahan-lahan menusuk sampai ke tulang.

"Gue pernah dengar, katanya dulu lo adalah orang paling tenar di kampus. Orang paling congkak yang nggak katanya nggak akan pernah membiarkan siapapun menyentuh ujung tali sepatunya sekali pun." Dan Nana adalah satu-satunya orang yang bersuara setelah begitu lama terdiam, "Tapi hari ini lo kelihatan payah."

Narasi, 2021✔Where stories live. Discover now