15. Warna yang Tak Lagi Sama

87.6K 19.2K 6.2K
                                    

Aku bertekad untuk mengejar dirimu
Tapi di perbatasan rindu,
ibumu datang membawa cambuk
"Jauhi anakku", katanya
Sampai akhirnya aku jatuh, ditikam pilu

***

Untuk beberapa alasan, Jovan berpikir bahwa dirinya telah handal dalam urusan cinta. Sudah banyak perempuan-perempuan yang ia taklukan sebelum akhirnya ia tertambat pada sosok Malika. Tapi ketika ia mendengar Cetta berkata, "Ibunya Mbak Aya yang nggak setuju. Katanya Mas Nana masih nggak jelas masa depannya." sebelum anak itu kembali mengunyah keripik alot buatan mama, Jovan merasa ia tidak berarti apa-apa.

"Emangnya titit Nana kenapa?" Jovan bertanya kebingungan. Sementara di hadapannya, Jaya dan Cetta memutar bola mata mereka dengan jengah.

"Aduh, Mas Jovan.. bukan masa depan yang itu. Masa yang akan datang maksudnya. Mas Nana kan masih kuliah, belum punya pekerjaan, nah, ibunya Mbak Aya tuh takutnya kehidupan Mbak Aya nanti nggak terjamin." kali ini Jaya menjelaskan panjang lebar. Sampai akhirnya Jovan membulatkan mulutnya dan mengangguk. Akhirnya, ia mulai paham.

Menjelang jam 12 malam, televisi masih menyala. Tapi sejak Cetta datang dan berkata, 'eh eh eh', pertandingan bola yang berlangsung sudah tidak ada artinya lagi. Lalu setelah mendengar penuturan kedua adiknya itu, Jovan tidak bisa berkata-kata.

"Ibunya Mbak Aya tuh mau calon mantu yang udah mapan, dewasa, bukan brondong dan belum punya apa-apa kayak Mas Nana." Cetta menyambung dengan kata-kata yang jauh lebih menyakitkan untuk Jovan dengar. Padahal menurut Jovan, Nana cukup mumpuni untuk mengatasi segala kekhawatiran itu.

Akhirnya, laki-laki yang mengenakan kaos dengan tulisan Indomie Sambal Matah itu menarik napas panjang. "Ya iya sih, semua orang tua pasti mau yang terbaik buat anaknya. Tapi dengan bilang kalau Nana nggak punya masa depan, udah keterlaluan sih menurut gue. Nana bukannya nggak punya apa-apa, tapi dia kan masih dalam progres untuk pencapaian dia."

Di hadapannya, Jaya dan Cetta menyetujui.

"Mereka jadi putus emang?" Jovan kembali bertanya.

Sementara Cetta menggeleng, "Kayaknya sih belum."

"Berarti kamu berharap Mas Nana sama Mbak Aya putus?" tanya Jaya. Anak itu kelihatan tidak suka dengan pernyataan kakaknya.

Serius! Dia adalah pendukung nomor satu Mbak Aya dan Mas Nana. Jadi kalau hubungan keduanya tiba-tiba kandas, bukan hanya Mbak Aya dan Mas Nana yang sedih, tapi dia juga.

"Mending putuslah daripada Masku jadi bahan celaan ibunya Mbak Aya. Kalau emang itu ibu-ibu nggak mau punya mantu kayak Mas Nana, masih banyak kok ibu-ibu di luar sana yang mau. Calon ibu mertua bukan cuma ibunya Mbak Aya kali." kata Cetta. Ia lebih setuju kalau Mas Nana dan Mbak Aya putus daripada melihat Mas Nana lemah, lunglai, letih dan lesu setiap hati.

Bahkan bagian paling parahnya, tadi pagi Mas Nana tidak bisa membedakan mana garam dan mana gula. Mana ketumbar dan mana yang merica. Pagi tadi, Mas Nana seperti tidak memiliki semangat untuk hidup. Persis seperti Bang Sastra setiap kali Jovan berkata padanya untuk putus dengan Sahara.

Setelahnya, Jaya terkulai tak berdaya di atas karpet. Di tahap ini, ia mulai resah dengan hubungan Mbak Aya dan Mas Nana. Sementara Jovan, ia diam-diam setuju. Meski ia tidak tahu persis betapa perihnya cinta yang terhalang restu, tapi ia tahu, saat ini Nana pasti dalam keadaan yang tidak baik.

"Van? Bang Tama bilang kamu mau buka bengkel?" tahu-tahu Kak Ros datang. Laki-laki itu duduk di ujung sofa, memperhatikan Jovan yang kini menghela napas panjang. Karena ketika pembahasan itu ia dengar lagi, dadanya--yang entah di bagian organ tubuh mana, pasti akan terasa seperti ditusuk-tusuk.

Narasi, 2021✔Where stories live. Discover now