17. Cerita sama Abang, Ada Apa?

109K 20.2K 7.5K
                                    

Seandainya kamu ada di sini bersamaku,
Aku ingin mengatakan sesuatu.
"Kamu adalah bintang paling terang dalam semestaku."

***

"Lo tuh belum ada setahun menjabat jadi kahim, tapi muka lo tuh kayak menanggung beban berat selama bertahun-tahun tahu nggak sih, Din?" tahu-tahu Lestari datang ketika Nana baru saja akan menenggak air mineralnya. Perempuan itu terkekeh, sampai-sampai cekungan di sepasang pipinya jatuh semakin dalam.

Keduanya duduk di bawah pohon ketapang, menikmati angin sejuk di sela-sela isoma kegiatan seminar hari itu. Ini bukan kali pertama mereka menjadi panitia, tapi entah bagaimana, acara yang mereka adakan saat ini jauh lebih melelahkan dibanding tahun lalu.

"Gue akhirnya tahu kenapa adik bungsu gue pengen banget jadi alien." saat itu Nana tersenyum tipis. Pada sekumpulan awan tebal yang melintas, ia membayangkan wajah Jaya yang lucu. Bahunya yang kelelahan ia sandarkan pada pohon di belakangnya. Lalu setelah menarik napas dalam-dalam, ia menatap Lestari.

Tak lama setelahnya, Lestari menoleh. Perempuan itu kebingungan. "Jadi alien gimana maksudnya?" sementara Nana justru tergelak karena ucapannya sendiri.

"Lo tahu Dhanan nggak? Yang minggu lalu cover lagunya Golden, Hate Everything?" tanya Nana, hanya untuk menemukan Lestari mengangguk keheranan. "Dia tuh sering banget ngeluh sama gue, sama abang-abang gue, kalau dia tuh pengen jadi alien."

"Kenapa?" tanya Lestari. Kali ini ia turut bersandar pada pohon sama seperti Nana. Sampai kedua bahu keduanya tanpa sengaja saling bersentuhan.

"Dia bilang jadi manusia itu capek. Makanya dia bilang akan lebih baik kalau dia jadi alien. Tapi belakangan ini dia bilang pengen jadi dinosaurus." Nana terbahak sebelum akhirnya ia menyambung, "Aneh kan? Tampangnya doang yang kayak preman komplek, tapi kelakuan dia yang paling aneh di rumah. Demen ngomong sama ayam, sama pohon, sama tembok. Aneh deh pokoknya. Lo kalau lihat keseharian dia di rumah juga paling bakalan shock."

Lestari tidak menjawab, tapi gadis itu mengangguk dengan senyum lebar. Ia mendengar Nana tertawa terbahak-bahak saat itu. Dan entah bagaimana, laki-laki itu terlihat begitu indah. Angin yang berhembus tenang siang itu seolah membelai setiap ruas surai legamnya. Lalu dalam keterdiamannya, Lestari merekam tawa laki-laki itu dalam gerak lambat dalam kepalanya. Untuk ia simpan dalam waktu yang lama, dalam ruang yang mungkin hanya ia yang mengetahui dimana letak pastinya.

"Gue penasaran, Din. Seberapa bahagianya Gayatri bisa punya lo di hidup dia?" seperti yang sudah-sudah. Ia hanya akan membatin dengan senyum tipis. Dan seperti hari-hari biasanya juga, ia hanya mampu menarik napas panjang--sambil menatap ujung sepatunya yang usang.

Siang itu ruang seminar nampak lebih ramai. Beberapa ada yang menikmati nasi kotak yang disediakan, beberapa lagi memilih tidur sejenak sebelum akhirnya kegiatan di lanjutkan. Dari tempatnya duduk, Nana bisa menemukan para anggotanya tergeletak di lantai bagian depan ruangan. Dan Nana tahu, sama sepertinya, mereka semua kelelahan.

Kalau boleh jujur, Nana tidak begitu suka kegiatan seperti ini. Dan seandainya dia punya pilihan, ia akan memilik duduk di tempat sepi, menyalakan ipod jadulnya dan mendengarkan beberapa lagu dari band-band lawas favoritnya sampai akhirnya ia tertidur. Kemudian ketika dia bangun, ia akan menulis beberapa paragraf untuk bab barunya. Namun ia justru berakhir di sini, dalam kesibukan ini.

"Pas pensi nanti, Danu bilang lo mau ikut ngisi panggung ya?" Lestari akhirnya kembali bersuara setelah beberapa lama terdiam.

"Iya."

"Tumben." Lestari terkikik.

"Nggak tahu, iseng aja. Udah lama juga nggak pegang gitar. Terakhir gue main gitar tuh kapan ya?"

Narasi, 2021✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang