Bab 3 - Calon Istri

391 29 3
                                    

'Tut tuuttt tuuuttttt' suara kereta yang baru saja datang ke stasiun, membuat orang-orang segera berkerumun di depan pintu-pintu masuk gerbong. Mereka tertib mengantri dan mendahulukan penumpang yang akan turun.

Rani berpamitan kepada Pak Gunawan dan Bu Widya yang ikut mengantar kepergian putri sulung mereka. Saat itu sedang gerimis, hawa dingin yang terasa menusuk hingga ke tulang, membuat suasana perpisahan antara orang tua dan anak itu semakin syahdu.

"Hati-hati ya Nduk. Doa Mama dan Papa akan selalu menyertaimu," kata Bu Widya menahan tangisnya.

"Terima kasih karena Mama dan Papa selalu mendukung Rani," ujar Rani sambil mencium dan memeluk kedua orang tuanya. Dan sejurus kemudian Rani sudah duduk menghadap ke jendela dan melambaikan tangannya ke arah Pak Gunawan dan Bu Widya.

Perlahan tapi pasti, kereta mulai bergerak maju meninggalkan stasiun yang masih dipenuhi dengan orang-orang yang sibuk berlalu lalang.
Terlihat oleh Rani dari kejauhan, Pak Gunawan dan Bu Widya mulai beranjak meninggalkan stasiun untuk kembali ke rumah mereka.

Rani mengeluarkan ponsel dari tasnya, Ia mulai mengecek jadwal yang ada di catatannya. Untung lah Rani hanya mengajukan cuti sebelum kembali ke Jogja, jadi dia tidak perlu mencari pekerjaan baru saat kembali ke Jakarta.
Sebelumnya Rani sempat bimbang untuk mengambil keputusan antara harus cuti atau resign, karena Ia ingin kembali tinggal di Jogja setelah menikah dengan Vendra. Namun ternyata semua itu hanya sebatas ingin yang bersanding dengan angan.

"Akhirnya ketemu juga," kata seorang lelaki yang berdiri di sebelah Rani.


Rani tak terlalu memperhatikan lelaki yang sedang menyimpan barangnya di kabin. Ia masih sibuk dengan ponselnya.

"Rani!" sapa sebuah suara yang berasal dari hadapan Rani. Mendengar namanya dipanggil, sontak Rani menoleh kearah suara itu. Namun betapa kagetnya Rani saat mengetahui siapa yang memanggilnya.

"Bagas!" seru Rani tak percaya. Sementara lelaki berkulit coklat itu hanya tersenyum ke arahnya. Sepertinya Ia sangat menikmati ekspresi Rani yang tampak kebingungan.

"Ngapain Kamu ada disini?" tanya Rani.

"Aku mau ke Jakarta juga," jawab Bagas enteng. "Harusnya masih dua hari lagi sih jadwalku untuk ke Jakarta, tapi demi Kamu nggak apa-apa deh Aku percepat," lanjutnya.

"Kenapa harus demi Aku?" tanya Rani heran.

"Ya karena Aku nggak mau calon istriku pergi sendirian malam-malam begini. Lagian kenapa Kamu nggak naik pesawat aja sih? Aku kan jadi khawatir!" kata Bagas.

"Tunggu ... tunggu ... Kamu bilang calon istri?"

"Iya, Kamu C A L O N - I S T R I K U," ungkap Bagas memperjelas perkataannya dengan cara mengeja.

"Memangnya Aku setuju? Seenaknya saja Kamu bilang seperti itu!" ujar Rani kesal.

"Aku nggak perlu persetujuanmu untuk mengatakan itu. Yang jelas, Yangtimu sudah setuju untuk menjodohkan Kita. Apa lagi yang Kamu harapkan? Aku kaya dan tampan. Kamu beruntung karena Aku memilihmu untuk menjadi istriku. Di luar sana banyak perempuan yang mengantri untuk menjadi pendampingku, sedangkan Kamu tak perlu susah - susah untuk menarik perhatianku," ujar Bagas membanggakan dirinya. Rani mendengus kesal.

"Sudah lah, terima saja perjodohan ini. Lagian, Aku memang sudah sejak lama menyukaimu," sambung Bagas.

"Hah? Sejak kapan? Aku saja baru melihatmu kemarin saat Kamu datang ke rumahku," jawab Rani yang terkejut dengan pernyataan Bagas.

"Kira-kira enam bulan yang lalu saat pertama Aku melihatmu di sebuah coffe shop. Kamu sedang menunggu temanmu yang belakangan Aku tahu bahwa dia kekasihmu," jawab Bagas mengingat pertemuan pertama mereka. Rani hanya diam, malas mendengarkan ocehan Bagas yang tidk masuk akal.

"Kamu boleh nggak percaya, tapi Aku kembali melihatmu di sebuah restoran ketika Aku sedang makan malam bersama keluarga besarku. Dan saat Aku sedang memperhatikanmu dari kejauhan, Eyangku bilang bahwa beliau kenal dengan Yangti-mu. Aku tidak terlalu berharap banyak saat itu, karena Aku tahu bahwa Kamu sudah punya pacar. Dan setelah malam itu, Aku sudah tak pernah melihatmu lagi. Hingga akhirnya kemarin, Eyangku memberikan fotomu padaku dan mengatakan akan menjodohkan Kita. Tanpa pikir panjang Aku menerima tawaran itu karena Aku masih menyimpan rasa penasaran terhadapmu," jelas Bagas panjang lebar.

Rani menggeleng tak percaya dengan pengakuan dari Bagas. "Terlalu mengada-ada," batinnya. Ia pun segera menyimpan ponselnya dan mulai memejamkan matanya, Ia malas kalau harus menanggapi Bagas sepanjang perjalanan.

***

Rani sudah bersiap - siap untuk turun ketika kereta sudah mulai memasuki stasiun, sementara Bagas masih terlelap dalam mimpinya.

"Terserah, Aku tidak akan membangunkan dia," batin Rani. Ia malas kalau harus meladeni kesombongan dan keangkuhan Bagas.

Rani melangkah keluar dari kereta dan bergegas meninggalkan stasiun sebelum Bagas menyadarinya. Ia tak ingin berlama - lama di dekat lelaki tengil itu.

Taksi berhenti di halaman sebuah apartemen yang cukup elit. Sopir taksi membantu Rani menurunkan kopernya kemudian berpamitan pergi setelah Rani memberikan bayaran beserta tips untuknya.

Rani berjalan menuju kamarnya dan segera merebahkan dirinya di atas kasur dengan nyaman.

Tak berselang lama, ponsel Rani berbunyi. Tampak di layar nama Mamanya yang sedang menelpon.

"Hallo Ma," sapa Rani kepada Mamanya.

"Kamu sudah sampai, Nduk?" tanya Bu Widya.

"Rani baru aja sampai, Ma," jawab Rani lembut.

"Tapi Kamu nggak papa tho, Nduk? Mama khawatir sama Kamu," ujar Bu Widya.

"Mama nggak perlu khawatir, Rani pasti bisa melalui semua ini dengan tegar," jawab Rani meyakinkan mamanya, meski terdengar jelas bahwa Ia pun masih belum yakin dengan dirinya sendiri. Akan kah Ia mampu melewati semua ini.

"Ya sudah kalau begitu, jaga dirimu baik - baik. Jangan ragu untuk menghubungi Mama kalau Kamu butuh teman cerita," kata Bu Widya.

"Terima kasih karena Mama selalu mengerti Rani," kata Rani dengan nada yang sedikit bergetar.

Namun saat Ia ingin menutup telponnya, mamanya kembali memanggil lagi namanya.


"Jangan ditutup dulu telponnya, Nduk. Ini ada Yangti mau bicara," kata Bu Widya sedikit mengeraskan suaranya, khawatir jika Rani mematikan telponnya.

"Sudah sampai, Nduk?," tanya Yangti bersemangat.

"Sudah, Yangti. Rani baru saja sampai," jawab Rani.

"Tadi perginya bareng Nak Bagas to?" tanya Yangti lagi.

"Lho ... kok Yangti tau?" tanya Rani penasaran.

"Lha ya jelas tau, lha wong Yangti yang menyuruh Nak Bagas menjaga Kamu," jawab Yangti penuh kebanggaan.

"Harusnya Yangti nggak perlu sampai merepotkan Bagas seperti itu. Rani kan sudah biasa pergi sendiri," jawab Rani berusaha bicara sopan dengan Yangtinya. Meskipun di dalam hatinya terasa sangat geram.

"Ndak apa - apa, Nduk. Sekalian Nak Bagas ada acara di sana. Toh Dia juga calon suamimu, jadi besok Kamu harus hadir di acara peresmian cabang barunya sebagai pendampingnya Nak Bagas. Yo Nduk?" kata Yangti bersemangat.

"Rani nggak bisa janji, Yangti. Rani banyak kerjaan," jawab Rani lesu.

"Ya pokoknya usahakan ya, Nduk. Jangan bikin malu nama keluarga Kita," titah Yangti kepada Rani kemudian menutup telponnya tanpa menunggu jawaban dari Rani.

'FIUUHHHH'

Rani menarik napasnya dalam - dalam. Ia tak menyangka hidupnya akan serumit ini.

Bersambung ...

***



Terima kasih telah mebaca kisah Maharani...
Nantikan kisah selanjutnya ya..

NB : DILARANG KERAS PLAGIAT CERITA INI !!!
SILAKAN BERKARYA DENGAN IDE - IDE KALIAN.



Jodoh Pilihan EyangWhere stories live. Discover now