Enam

1.1K 225 22
                                    

Satu jam berlalu, Sasuke sudah mandi, berganti pakaian, dan siap berangkat bekerja. Tapi kakaknya—Uchiha Itachi masih saja mengekor di belakangnya bak anak itik yang kehilangan induk. Bahkan sekarang, ketika Sasuke berjalan menuruni anak tangga menuju dapur, sang kakak yang kini hanya mengenakan celana pendek serta bertelanjang dada masih setia menempel padanya seperti parasit.

"Berhenti mengikutiku, sialan!" Sasuke menutup pintu lemari es dengan keras setelah mengambil satu botol soda. Jelas sekali jika lelaki itu mulai merasa jengah dengan kehadiran sang kakak.

Melihat sang adik mulai jengah, Itachi justru malah tertawa kecil. Lelaki itu menyandarkan pinggangnya pada meja makan dengan santai, kedua tangannya terlipat di depan dada. Raut wajahnya tampak sangat terhibur.

"Aku akan terus mengikutimu sampai kau mengatakan siapa gadis yang kau sukai," kata Itachi kembali mengalunkan tawa. Kali ini sebuah tawa yang keras. "Oh, aku ingat kata-katamu tadi, dia gadis yang menarik, aku menyukainya. Jadi, siapa yang kau sukai itu?" Itachi menaik turunkan kedua alisnya bermaksud menggoda Sasuke. "Jadi, siapa gadis itu? Apa dia cantik? Aku hanya melihatnya sekilas. Rambutnya merah muda. Oh, dia memang gadis yang menarik."

Perkataan panjang lebar bernada menyebalkan dari sang kakak membuat tingkat kekesalan yang di rasakan Uchiha Sasuke hampir mendekati puncak. Hampir. Hanya sedikit lagi.

"Kau tahu kan aku akan tetap mengikutimu sampai aku mendapatkan jawabannya?" Itachi kembali mengikuti Sasuke yang kini berjalan tergesa menuju ruang tengah, duduk di atas sofa tunggal bersiap mengenakan sepatu. "Jadi, siapa gadis itu?" tanyanya lagi.

Sasuke menghela napas. Ia tahu, tak pernah ada yang bisa mengalahkan sifat keras kepala Itachi di dunia ini, bahkan mungkin di akhirat pun, tak akan pernah ada yang bisa menandinginya. Dan sekarang Sasuke ingin sekali mengirim kakaknya tersebut ke akhirat sana.

"Ayolah, Sasuke. Beritahu aku!"

Benar, kan?

"Dia pemilik baru rumah paman Obito. Apa kau puas?" Sasuke mulai mengenakan sepatunya dengan cepat. "Dan sekarang, berhenti mengikutiku! "

Sasuke hendak berdiri, namun Itachi kembali menahannya dengan sebuah pertanyaan. Brengsek!

"Bukankah pemilik rumah itu adalah wanita paruh baya?" tanya Itachi penasaran.

"Dia putrinya."

"Woaaahh!" Itachi berseru semangat seraya bertepuk tangan. "Apakah cantik? "

Sasuke mendengus keras. "Ya, dia sangat cantik. Sampai-sampai aku ingin menidurinya!" Sasuke menyambar tas yang ada di sisi tubuhnya. Menatap Itachi dengan pandangan membunuh andalannya. "Sekarang berhenti mengikutiku. Aku harus pergi bekerja!" kata Sasuke bersungut-sungut.

Itachi kembali tertawa setelah Sasuke pergi keluar rumah dengan kaki yang di hentakkan. Hiburan di pagi hari setelah ia pulang dari tempat yang jauh untuk urusan bisnis adalah membuat sang adik kesal. Itu teramat sangat sangat menyenangkan.

"Ah, aku jadi penasaran dengan gadis itu."

Itachi mengangkat bahu, mulai berjalan menuju kamarnya di lantai dua untuk membersihkan diri.

.

.

.

Suasana di dalam mobil terasa sangat mencekam menurut Sakura. Sedari tadi—setelah Sakura mengambil barang yang tertinggal di rumah barunya— Sasori tak mengeluarkan sepatah kata pun. Kemana Sasori si cerewet yang mampu mengeluarkan dua ratus ribu kata dalam satu menit? Wajah Sakura berubah masam memikirkan pertanyaan yang baru saja di lontarkan hati nuraninya.

"Jadi, siapa dia?"

Sakura hampir saja melompat karena terkejut dengan suara Sasori yang terdengar tiba-tiba. Dalam hati berkali-kali mengucapkan terimakasih  kepada Tuhan karena tidak merubah Sasori menjadi lelaki bisu.

"Dia?" tanya Sakura balik. Pura-pura tak mengerti.

Sebuah dengusan keluar dari mulut Sasori. " Ya, dia. Lelaki yang menyambutmu tadi." Tatapan matanya masih berfokus pada jalanan yang ramai.

"Oh, maksudmu Sasuke?" Sasori mengangguk. " Kenapa? Kau cemburu? Sakura tertawa saat melihat wajah Sasori berubah masam.

"Sialan! Kenapa aku harus cemburu?"

Sakura mengangkat bahu. "Yah, aku kan hanya bertanya," katanya kembali tertawa. "Lagipula, kau dan aku sudah bersama dalam waktu yang lama, jadi bisa saja kalau kau cemburu—"

"Sakura?"

"Ah, oke, oke." Sakura mengangkat kedua tangan tanda menyerah. "Dia orang yang tinggal di sebelah rumahku, sekaligus orang yang membantuku membersihkan rumah. Tidak seperti seseorang yang selalu sibuk dengan pekerjaannya."

Sasori meringis. Jika dia tidak salah dengar, apa Sakura baru saja menyindirnya?

"Kau menyindirku?"

Sakura menolehkan kepalanya, bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman yang sangat manis namun terlihat menyeramkan di penglihatan Sasori.

"Kenapa? Kau tersindir?" tanya Sakura dengan raut wajah pura-pura terkejut. "Baguslah, aku memang berniat menyindirmu," lanjutnya seraya tertawa.

Sakura segera melepas sabuk pengaman yang membelit tubuhnya ketika mobil Sasori berhenti lalu keluar setelahnya. Ia sedikit membungkukkan tubuhnya untuk melihat Sasori.

"Jemput aku jam sebelas," katanya berusaha mengalihkan fokus Sasori pada orang-orang yang berlalu lalang di sekitar tempat kerjanya.

"Kenapa? Bukankah kemarin kau pulang sore?"

Sakura mengangkat bahu. "Yah, pokoknya jemput aku jam sebelas atau aku akan menendangmu ke luar angkasa."

Sasori tertawa." Oke. Aku akan menjemputmu jam sebelas. Setelah itu kita makan siang bersama."

Sakura mengacungkan ibu jarinya pertanda setuju. "Baiklah. Aku tidak sabar ingin menghabiskan semua uangmu, " kata Sakura dengan nada becanda. "Semoga harimu yang sibuk menyenangkan, Sasori. Aku pergi."

Sakura kembali tertawa keras ketika mendengar umpatan yang keluar dari mulut Sasori. Ia mulai melangkahkan kakinya menuju gedung tempatnya bekerja setelah mobil Sasori benar-benar tak terlihat. Sesekali, perempuan musim semi itu tersenyum ketika ada yang menyapanya.

.

.

.

.

Tbc.

Tetangga Idaman (Tamat) Where stories live. Discover now