Dua Puluh Dua

977 199 9
                                    

Tiga hari berlalu sejak insiden memalukan yang ia lakukan pada Naruto, tiga hari pula ia tak mendapatkan kabar apapun dari kekasihnya. Sasuke bagaikan ditelan bumi. Jangankan menjelaskan apa alasan pria itu membatalkan acara kencan mereka, untuk sekedar menanyakan apakah ia sudah makan atau belum saja, sama sekali tidak. Hal yang mustahil Sasuke lakukan. Ia sangat paham, sesibuk apapun kegiatannya, Sasuke selalu menyempatkan diri untuk menghubunginya. Tapi sekarang? Ketika ia mencoba menghubunginya, selalu saja operator bersuara menyebalkan yang menjawabnya.

Hinata mengerang frustasi, menjambak rambut panjangnya dengan keras hingga mencuat kemana-mana. Tak mempedulikan rekan kerjanya yang kini memberikan pandangan aneh padanya.

Untuk kesekian kalinya dalam sepuluh menit terakhir, Hinata kembali menekan nomor yang sama, berharap yang akan menjawabnya kini adalah orang yang benar-benar ia harapkan. Namun, seberapa sering pun ia mencoba, hasil yang ia dapatkan tetaplah sama—nihil.

"Sialan!" Baiklah, seumur hidup ia tak pernah mengumpat di depan umum, tapi sekarang ia teramat amat amat sangat ingin melakukannya untuk sekedar meringankan rasa kesal yang terus menerus bercokol di dadanya. "Aku benar-benar akan membunuhmu jika kita bertemu!"

Hinata menarik napas dengan kuat lalu mengeluarkannya, memasukkan kembali benda pipih berwarna putih itu yang ada dalam genggamannya ke dalam tas kemudian berjalan menuju toilet untuk sekedar mencuci muka serta mendinginkan otaknya yang terasa panas. Jika sampai besok Sasuke tidak menghubunginya, ia akan menemui pria itu ke kediamannya.

.

.

.

Waktu itu, Sasuke pulang dari rumahnya sekitar pukul sebelas malam setelah menghabiskan entah berapa kaleng bir. Wajahnya memerah, gaya berjalannya juga sempoyongan. Pun dengan dirinya yang tampak mengenaskan dengan rambut merah mudanya yang mencuat ke mana-mana. Sakura memang selalu tak terkendali saat mabuk, tapi, tidak tak terjadi apapun di antara mereka berdua. Ia bisa menjamin itu.

Setelah tiga hari berlalu, ia juga tak menemukan perilaku aneh yang ditunjukkan Sasuke yang sedang patah hati. Bahkan, lelaki yang memiliki tatapan mata tajam itu terlihat baik-baik saja, seolah tak pernah terjadi apapun padanya. Ia sempat mewanti-wanti pada Itachi agar terus memperhatikan adik bungsunya jika sewaktu-waktu melakukan sesuatu yang bisa membahayakan nyawa. Seperti meminum satu botol cairan serangga, atau menggantung dirinya sendiri di pohon Sakura halaman belakang kediaman Uchiha.

Ketika Itachi menanyakan apa penyebabnya, Sakura hanya menjawab, "Adikmu tengah patah hati karena kekasihnya ditikung lelaki lain."

Itachi mengerti tanpa menanyakan lebih lanjut perihal siapa lelaki yang telah berani menikung Sasuke. Tapi, jika Itachi tetap menanyakan hal tersebut pun, ia tetap akan mengunci mulutnya rapat-rapat menyimpan rahasia yang diketahuinya seolah itu dokumen penting milik negara.

Jam menunjukkan hampir pukul satu siang, Sakura sudah selesai bersiap-siap dengan pakaian santainya. Hari ini, ia memutuskan untuk izin setelah dua hari ke belakang kesibukan di tempat kerjanya luar biasa membuat pusing kepala.

Setelah mengambil tas dan juga ponselnya, Sakura segera keluar rumah lalu mengunci pintunya, mengulas senyum tipis saat mendapati seseorang tengah menunggunya di dekat teras.

"Kita pergi sekarang?"

Ia mengangguk mantap. "Tentu. Perutku sudah bergemuruh karena telat makan siang," katanya sembari tertawa.

"Kau yakin akan berjalan kaki?"

Ia hanya mengangkat bahu. "Kenapa tidak? Lagipula, kedai baru itu berada tak jauh dari sini."

Tetangga Idaman (Tamat) Where stories live. Discover now