46. Gegabah

1.1K 160 4
                                    

"Kenapa kau memarahi Alana seperti itu? Kau tidak seperti Bagas yang kukenal." Raka menyandarkan punggungnya di pembatas atap seraya menatap Bagas yang tak kunjung buka suara.

"Apa ini soal semalam? Kalian benar-benar bertengkar?" Dika ikut bertanya. Ia tahu kalau Bagas dan Alana sering bertengkar, namun kali ini ia merasa kalau masalahnya memang agak serius. 

Arya yang sama sekali tak paham dengan situasinya lalu ikut bertanya, "memangnya ada apa semalam?"

"Semalam bedebah ini datang ke rumahku dan jika saja aku tidak memaksanya agar pulang, mungkin dia akan benar-benar menginap," ujar Dika tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Bagas. "Alana juga semalam sempat menelepon padaku namun tak sempat kuangkat. Lalu tadi pagi dia bertanya padaku mengenai Bagas."

"Sekarang apa lagi yang kalian debatkan?" Raka membuang napasnya pelan, ikut menatap Bagas. 

"Heh, kurasa Alana itu khawatir padamu. Dia bahkan rela mengerjakan tugas milikmu juga tanpa sepengetahuanmu, kan? Kau tidak kasihan padanya?" ujar Dika.

"Kurasa aku tidak perlu kasihan padanya," jawab Bagas datar, seolah ia memang tak peduli akan hal itu. 

"Kenapa kau bicara begitu? Kalian baik-baik saja kemarin, kenapa sekarang jadi begini?" Arya menatap Bagas.

"Jawab, Gas, kami akan berusaha membantu—"

"Aku ingin bercerai." Bagas menyela ucapan Raka hingga kini teman-temannya terdiam.

"A-apa kau bilang?"

Bagas membuang napasnya pelan. "Kami menjelaskan semuanya dan berkata ingin bercerai, tapi orang tuaku tak menyetujuinya dan kami bertengkar setelahnya."

Dika mengusap rambutnya dan membuang pandangannya ke arah lain. "Kau pasti sudah tidak waras."

"Lalu aku harus apa? Orang tuaku bahkan tak pernah mau mendengarkan penjelasanku kalau semua ini hanya salah paham karena aku memang tak pernah melakukan apapun pada Alana! Dan apa kau pikir ini hanya keinginanku? Alana sendiri yang bersikeras ingin bercerai!"

"Tapi kau tidak perlu membentaknya di depan umum! Aku tahu kau tidak pernah menginginkan pernikahan itu tapi setidaknya hargai Alana karena dia tetap istrimu! Kau seharusnya tidak mempermalukannya!" Dika menarik kerah baju Bagas hingga tubuh rekannya itu tertarik ke arahnya.

Dengan emosi yang kian meluap, Bagas pada akhirnya balas menarik kerah baju milik Dika tak kalah kuat. "Aku muak dengan semua ini! Dia selalu berkata ingin cerai tapi apa yang dia lakukan? Dia justru selalu bersikap seolah peduli padaku! Aku hanya mengatakan keinginannya pada orang tua kami dan apa? Sekarang justru aku yang disalahkan dan gadis itu bertingkah seolah-olah dia yang menjadi korban!"

Raka dan Arya dengan segera melerai mereka berdua sebelum benar-benar terjadi perkelahian di sana. Keduanya menarik Bagas dan Dika agar menjauh.

"Tenangkan dirimu, Gas. Aku mengerti kau sedang mengalami situasi sulit, tapi ucapan Dika ada benarnya. Kau bisa saja membicarakan masalahmu dan Alana secara baik-baik. Setidaknya bicaralah di tempat yang sepi, karena kau hanya akan memperlakukan dia jika tindakanmu seperti tadi," jelas Raka. "Dan satu lagi yang harus kau ingat, jika kau berpikir kalau masalahmu akan selesai dengan cara bercerai, maka kau salah. Kau hanya akan membuatnya semakin rumit. Kalian terlalu gegabah dalam mengambil keputusan, jadi pikirkan lagi. Apalagi orang tua kalian sudah melakukan semuanya demi kalian dan mereka sudah menghabiskan biaya yang tidak sedikit."

"Mereka melakukan semua itu juga demi kalian berdua. Jadi kurasa wajar jika mereka marah saat mendengar kalian ingin bercerai. Bukan hanya karena uang, tapi pernikahan memang bukan lagi permainan," ujar Arya.

Bagas melepaskan dirinya dari cekalan Raka dan membuang napasnya kasar. Lelaki itu meremas pembatas seraya menatap kegiatan di bawah sana. "Tapi pernikahan ini hanya kesalahan."

"Kau mungkin berpikir kalau semua yang kau alami adalah kesalahan. Tapi bagaimana jika ternyata kau dan Alana memang ditakdirkan bersama? Bagaimana kalau ternyata kalian tetap ditakdirkan menikah walau tidak karena kesalahan? Ingat, Bagas, Tuhan itu tak pernah kehabisan akal. Bagaimana kalau ternyata setelah kalian bercerai, hidupmu akan lebih hancur? Bukan hanya keluarga kalian yang akan renggang, tapi juga pekerjaan mereka akan jadi taruhan. Bahkan sekolahmu juga."

Lagi-lagi Raka benar. Bagas merasa dirinya tengah dipukul selama berkali-kali. Dia gegabah dan juga ceroboh dalam bertindak.

"Aku mengenalmu sudah sejak lama. Kau peduli pada Alana dan begitu pun dengan dia. Jadi berhentilah berpura-pura tak merasakan apa-apa dan ungkapkan saja semuanya. Walaupun hanya sebagian kecil, tapi aku tahu kalau jauh di dalam hati kalian, ada perasaan tak ingin berpisah satu sama lain." Dika menghela napas. "Kau sudah bahagia dengan Alana, Gas. Kau beruntung memiliki gadis seperti dia. Alana sudah tak memiliki ayah, jadi kuharap kau tidak mematahkan hatinya untuk yang kedua kali."

Usai mengatakan itu, Dika melangkah pergi. Lelaki itu meninggalkan ketiga rekannya yang masih berada di sana.

"Pikirkan lagi. Bicarakan semua ini baik-baik. Minta maaflah pada orang tua kalian, lalu minta maaflah pada Alana. Aku yakin gadis itu tak baik-baik saja sekarang." Raka mengusap bahu Bagas perlahan.

"Aku yakin kalian bisa melewati ini. Jujur aku terkejut saat Dika berkata kalau Alana sudah tak memiliki seorang ayah. Aku jadi berpikir tentang seberapa besarnya kepercayaan ibunya Alana padamu agar kau bisa benar-benar menjaga putrinya. Pasti sulit sekali mengingat Alana anak satu-satunya. Jika kau menyakiti Alana, itu sama saja dengan kau menyakiti ibunya." Arya berujar. Meskipun ia tak begitu memahami masalah dalam pernikahan, namun apa yang dialami Bagas dan Alana akan menjadi pelajaran untuknya.

***

Bagas masuk ke dalam kelas bertepatan dengan bel berbunyi. Lelaki itu menatap salah satu bangku di dekat jendela yang kini dalam keadaan kosong.

Kepala Mita terangkat saat menyadari seseorang mendekat padanya. "Ada apa?" ujarnya enggan seraya memfokuskan kembali pandangannya pada buku.

"Di mana Alana?"

Salah satu sudut bibir Minji naik. "Kau masih berani menanyakan keberadaannya setelah apa yang kau lakukan tadi?"

"Maaf."

"Seharusnya kau minta maaf pada Alana dan bukan padaku. Aku tak membutuhkan permintaan maaf darimu. Ah, sial, mood-ku malah semakin memburuk," ujar Mita. "Alana ada di UKS tapi kau tak usah menemuinya dulu, biarkan dia sendiri untuk sementara waktu."

Bagas menatap tas milik Alana yang berada di atas meja selama beberapa saat sebelum akhirnya ia berjalan ke bangkunya. Sesaat ia menatap Dika yang tengah memainkan ponsel. Lelaki itu bahkan tak menyapa atau menolehkan kepalanya sama sekali.

Pada akhirnya Bagas duduk di bangkunya tanpa melakukan apa-apa. Biasanya ia akan langsung membaca komik atau mendengarkan musik, namun kali ini entah kenapa kegiatan favoritnya itu seperti tak menarik baginya.

Tidak lama kemudian seorang guru masuk ke dalam kelas dan pelajaran pun dimulai. Bagas kembali menatap ke meja Alana dan gadis itu belum juga kembali, bahkan hingga pelajaran berakhir.


-Bersambung-

Stupid Marriage (New Version) ✔Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin