54. Undangan Makan Malam

14.1K 502 24
                                    

Bagas mendongak saat seseorang memberikan sebotol air mineral kepadanya. "Kupikir kau sudah berganti pakaian," ujarnya.

Alana mendudukkan tubuhnya di sebelah lelaki itu dan menatap beberapa murid yang masih bermain basket di lapangan. "Aku ingin berada di sini dulu. Ah, iya, mana Dika? Kurasa tadi dia ada di sini bersama denganmu. Padahal aku juga sudah membelikan air untuknya." Alana menatap ke sekitar mencari keberadaan lelaki bernama Dika itu. 

"Kenapa kau mendadak membelikannya minum? Tumben sekali," ujar Bagas. 

"Dia kan tadi ada di sini, jadi kupikir tidak enak jika hanya kau yang kubelikan minum. Jadi ya sekalian saja." Alana menunjukkan botol air di tangannya yang satu lagi. "Oh, itu dia! Dika!" Ia berseru saat melihat Dika berjalan ke sana. Namun Bagas tak membiarkan hal itu terjadi begitu saja dan ia langsung merebut botol air itu dari tangan Alana dan meminumnya.

"Astaga, apa yang kau lakukan?!" Alana memukul lengan Bagas dengan kedua mata yang sudah membulat. 

"A-aku masih haus, harusnya kau berikan saja ini untukku! Dika kan bisa membelinya sendiri!" Bagas langsung membuangnya ke arah lain.

"Ya ampun, kau ini." Alana berdecak pelan dan kemudian menggelengkan kepalanya. 

"Ada apa ini?" Dika bertanya saat melihat adanya keributan kecil di sana tepat ketika ia datang.

Alana melirik Bagas yang kembali minum di sebelahnya, lalu gadis itu berujar, "dia cemburu gara-gara aku membelikanmu minum," tunjuknya pada Bagas. 

Bagas yang mendengar itu pun langsung tersedak dan ia menoleh ke arah Alana dengan kedua mata yang membulat. "Enak saja! Aku tidak cemburu. Sudah kubilang kalau aku masih haus!" tegasnya.

"Nah, kau dengar sendiri, kan? Dia itu cemburu," cibir Alana. 

Dika lantas tertawa pelan menanggapinya. "Aku sudah membeli minum sendiri, Gas. Jadi kau tak perlu khawatir," ujarnya seraya menunjukkan sebotol air mineral di tangannya. 

Melihat itu, Bagas langsung membuang muka ke arah lain, "Siapa juga yang merasa khawatir," lirihnya hampir tak terdengar.

Dika kemudian mendudukkan tubuhnya di sebelah Alana dan meminum air miliknya. 

"Aku senang hubungan kalian berdua saat ini sudah membaik. Maaf juga karena mungkin sikap Bagas kemarin cukup membuat perasaanmu memburuk," ujar Alana.

"Aku tak masalah. Yah, kuakui aku juga memang salah karena hampir kehilangan kendali dan juga terlalu menggunakan emosi. Hanya saja aku tak suka saat ada seseorang yang memperlakukan wanita secara kasar, walaupun itu adalah suaminya sendiri." Dika kemudian melirik Bagas yang kini terdiam tak membalas setiap perkataannya. "Aku tidak mengerti dengan masalah rumah tangga tapi aku yakin kalau menikah muda seperti kalian apalagi ini secara diam-diam pasti terasa sangat sulit dan agak mencekik mengingat kalian yang memang dipaksa menikah. Tapi lain kali, Bagas—"

Bagas langsung menolehkan kepalanya pada Dika saat namanya disebut.

"Jangan melakukan hal yang kasar lagi pada Alana, seburuk apapun perasaanmu. Aku benar-benar ingat bagaimana ibunya Alana meneteskan air matanya di atas altar saat ia memberikan tangan putrinya kepada seorang lelaki yang ia harapkan menjadi pendamping hidup bagi putrinya kelak. Kau sudah membuatnya menangis sejak awal, Gas. Jadi jangan membuatnya menangis lagi. Dia ingin kau membahagiakan putrinya, bukan menyakitinya." Dika kemudian menatap Bagas selama beberapa saat, sebelum akhirnya ia menarik kedua sudut bibirnya ke atas. 

Alana yang duduk di antara kedua lelaki itu pun menatap mereka secara bergantian. Ia merasa kalau Bagas memang beruntung memiliki seorang teman baik seperti Dika. 

***

Ketua kelas mengambil satu per satu buku tugas begitu bel jam terakhir berbunyi. Guru yang mengisi materi tak bisa masuk dan memberikan sebuah tugas yang harus dikumpulkan saat pulang.

Mita melepas headset yang terpasang di kedua telinganya usai ia memberikan buku miliknya pada ketua kelas. Ia lalu melirik bangku milik Alana yang kosong dan gadis itu pun segera meneleponnya, namun panggilannya tak diangkat. 

"Sedikit lagi, kau bisa pergi ke meja lain lebih dulu," ujar Bagas yang masih menulis pekerjaannya. Mungkin menyalin, lebih tepatnya. Lalu tidak lama setelahnya ia segera memberikan buku miliknya pada ketua kelas. Bagas menatap bangku Alana yang masih kosong. Ia pun beranjak dari posisinya dan berjalan menuju barisan depan.

"Alana belum kembali?" tanyanya pada Mita.

"Belum. Entahlah, aku sudah mencoba meneleponnya tapi dia tak mengangkatnya," ujar Mita.

Kedua alis Bagas bertaut. Ia lalu memeriksa tas milik Alana dan memastikan kalau ponsel gadis itu tidak tertinggal, tapi sepertinya Alana memang membawanya. Tepat setelah ketua kelas mengumumkan untuk mengerjakan tugas, Alana pergi keluar dan memilih untuk mengerjakan tugasnya di perpustakaan. Awalnya Bagas ingin ikut tapi Alana langsung melarangnya dan berkata kalau dia tak akan bisa berkonsentrasi dengan benar jika Bagas ikut dengannya.

"Satu orang lagi. Siapa yang belum mengumpulkan?" tanya ketua kelas seraya menatap satu per satu siswa di sana. 

Bagas terdiam beberapa saat sebelum akhirnya ia berjalan keluar dari sana. "Aku akan menyusul Alana ke perpustakaan. Jangan dulu membawa buku itu ke ruang guru," ujarnya dan langsung membuka pintu. "Astaga, gadis itu. Benar-benar merepotkan." Bagas membuang napasnya. 

Dengan setengah berlari, ia bergegas ke perpustakaan. Karena jam terakhir sudah selesai, biasanya penjaga perpustakaan akan langsung mengunci ruangan itu dan Bagas khawatir jika Alana benar-benar terkunci di sana. Namun begitu ia sampai, penjaga perpustakaan tak ada di sana dan satu per satu murid yang ada di dalam pun keluar karena pelajaran sudah usai. Bagas sendiri kini mencari keberadaan Alana dan menemukan gadis itu tertidur di salah satu meja yang ada di sana. Bagas membuang napasnya pelan kemudian segera mendekati gadis itu.

"Heh, bangunlah. Ini sudah waktunya pulang." Bagas mengguncang pelan tubuh Alana namun gadis itu justru hanya menggeliat pelan. "Astaga, Al . Cepat bangun atau aku akan meninggalkanmu di sini bersama dengan zombi-zombi yang akan berdatangan!" 

Perlahan kedua mata Alana terbuka dan gadis itu menatap sosok yang berdiri di sebelahnya. "Kau mengganggu tidur siangku," ujarnya pelan. Ia menguap, lalu menegakkan tubuhnya.

"Ini sudah sore, dasar kau ini. Kau bisa teruskan tidur siangmu nanti saat kita sampai di apartemen. Sekarang sudah waktunya pulang dan buku milikmu harus segera dikumpulkan. Kau sudah menyelesaikan tugasmu, kan?" tanya Bagas seraya mengambil buku milik gadis itu. "Kalau begitu bereskan bukumu dan ayo kembali ke kelas." 

Salah satu tangan Bagas menarik pelan lengan Alana agar gadis itu segera beranjak dari sana dan mereka berdua pun keluar dari sana sebelum penjaga perpustakaan datang. 

"Kau mau makan apa untuk makan malam nanti?" tanya alana. 

"Terserah kau saja. Jika kau mau makan di luar juga tak masalah." Bagas berujar. Lelaki itu kemudian mengacak pelan puncak kepala Alana lalu merangkul bahu gadis itu. 

"Bagaimana kalau kita undang orang tua kita untuk makan malam? Bukankah itu bagus?" usul alana.

"A-apa?" 

"Kita sudah cukup lama tidak makan malam bersama, kan. Kau bisa menelepon ibu dan ayahmu untuk datang ke apartemen dan aku juga akan menelepon ibuku. Hm?" 

"Ah, tapi aku hanya mau makan berdua saja." Raut wajah Bagas seketika berubah kecewa. 

Ucapan Bagas langsung membuat lelaki itu sebuah bogeman di perutnya. 

"Jangan begitu! Sesekali tidak ada salahnya makan malam bersama. Ayolah."

"Astaga, baiklah. Nanti aku akan menelepon ayahku dan karena kau meminta ini secara mendadak, kuharap mereka sedang tidak sibuk," ujar Bagas, membuat gadis yang berada di sebelahnya tersenyum lebar. 


-Bersambung-

Stupid Marriage (New Version) ✔Where stories live. Discover now