10. Roti Cokelat dan Susu Kotak

18.5K 1.8K 14
                                    

"Ba-Bagas." Deru napas Bagas semakin terasa di pipi Alana. Refleks gadis itu memalingkan wajah ke arah lain. Kedua tangannya mengepal kuat, meremas pinggiran rok yang ia kenakan hingga kusut. Kedua sudut matanya bahkan semakin terasa lembap sebelum tiba-tiba ia mendengar suara kikihan. 

"HAHAHAHA!" Tawa Bagas meledak setelahnya dan memecah keheningan di sana. Ia melepaskan tangan Alana, berfokus memegangi perutnya sendiri karena rasa mulas, tak mampu menghentikan tawanya sendiri. Tentu saja hal itu Alana kebingungan. Dengan polosnya gadis itu hanya menatap Bagas seraya mengerjap beberapa kali.

"Asal kau tahu, wajahmu terlihat lucu sekali. Kau pikir aku akan melakukan apa? Kau pasti memikirkan yang tidak-tidak," ucap Bagas di sela-sela tawa, bahkan kedua sudut matanya mulai tergenang air mata. Lagi-lagi wajah Alana merah padam. Rupanya, pemuda itu hanya mengerjainya.

Dengan tatapan setajam silet, Alana menjawab, "berani sekali kau mengerjaiku! Dasar bodoh! Sekarang cepat pakai bajumu! Kita bisa terlambat!" Gadis itu mendorong tubuh Bagas dan keluar dari sana dengan langkah lebar. Di dalam kamar, Bagas masih terpingkal-pingkal. Ternyata selain bodoh dan cerewet, gadis bernama Alana Putri itu juga rupanya sangat polos.

***

Hening.

Tidak ada satu pun dari mereka yang memulai percakapan. Hanya suara dentingan sendok dan garpu beradu yang menghiasi suasana ruang makan pagi itu. Padahal, sejak mereka tinggal bersama, tak ada waktu tanpa ribut. Kejadian di kamar Bagas tadi sepertinya cukup mengusik pikiran Alana. Nafsu makannya mendadak lenyap begitu saja, ia masih kesal dengan kelakuan Bagas. Bisa-bisanya seorang lelaki mengerjai wanita dengan cara seperti itu?

"Hei, kau kenapa?" Akhirnya Bagas membuka suara, memecah atmosfir aneh di antara keduanya.

'Dasar tidak tahu diri,' batin Alana.

"Bukan urusanmu! Habiskan saja makanannya!" jawab Alana ketus. Ia lalu membanting pelan sendoknya ke atas permukaan meja hingga menimbulkan suara cukup nyaring, membuat Bagas tersentak pelan. Gadis itu lalu bangkit berdiri dan menarik tas yang digantung di belakang kursi.

"Hei, kau mau ke mana?" tanya Bagas ketika melihat gadis itu hendak pergi.

"Pertanyaan bodoh. Tentu saja ke sekolah." Alana meliriknya sinis seraya memakai tasnya.

"Kau tidak menghabiskan makananmu?"

"Aku sudah kenyang," jawab Alana pelan, namun masih bisa didengar dengan jelas oleh Bagas. Gadis itu berlalu dari sana tanpa sepatah kata pun, meninggalkan Bagas yang masih berkutat dengan peralatan makannya.

Bagas melirik piring bekas Alana. Dahinya lantas mengernyit. "Kenyang? Dia bahkan tidak menyuapkan satu sendok pun. Bagaimana bisa kenyang?" gumamnya. Ia hendak memaggil kembali gadis itu namun ia urungkan saat menyadari kalau Alana mungkin sudah jauh. Bagas menatap kembali makanan milik Alana. "Apa tadi itu aku terlalu berlebihan?"

***

"Alana, ayo ke kantin!" ajak Mita. Bel tanda istirahat telah berbunyi beberapa menit lalu, bersamaan dengan perutnya yang sudah memberi kode untuk meminta jatah.

Lawan bicaranya menoleh sebentar. "Maaf, aku harus menyelesaikan tugas Matematika. Kau duluan saja," balasnya. Alana kembali berkutat pada buku di hadapannya.

"Aish, baiklah. Ya sudah, kalau begitu aku duluan," balas Mita. Gadis berkaki jenjang itu melenggang pergi meninggalkan sahabatnya dan pergi ke kantin terlebih dulu. Baru beberapa menit ditinggal Minji, perut Alana berbunyi dan perlahan gadis itu mulai lapar. Ia baru ingat kalau sarapan pagi tadi tidak ada yang masuk mulut sama sekali. Tampaknya ia agak menyesal, harusnya ia makan setidaknya beberapa sendok.

"Ckck, gara-gara si bodoh itu aku sampai kelaparan. Kurasa aku juga harus pergi ke kantin." Alana beranjak bangun untuk menyusul sahabatnya tadi, membiarkan alat tulisnya berhamburan di atas meja.

"Alana Putri!" panggil seseorang di belakang. Suara bariton yang terdengar familiar itu lantas membuat Alana menghentikan langkahnya dan berbalik. Salah satu gurunya itu berjalan ke arahnya dengan setumpukan buku paket di tangan.

"Apa aku bisa meminta tolong? Bawakan buku ini ke perpustakaan," titah sang guru. "Ah, iya." Mau tidak mau, Alana pun mengambil alih buku-buku yang dibawa gurunya dan membantunya mengembalikan ke perpustakaan.

"Kalau sudah, kau bisa menemuiku di ruang guru. Aku akan memberikan nilai hasil ulangan minggu kemarin untuk kelasmu." Lelaki paruh baya itu menepuk pelan bahu Alana.

'Ah, padahal aku sudah lapar sekali.' Alana membuang napas pelan.

Perpustakaan berbeda satu lantai dengan kelasnya, yang artinya dia harus menaiki tangga dengan buku-buku paket berat itu. Ia sudah hampir melempar buku di tangannya begitu berjalan melewati anak tangga. Mita mungkin sudah menunggunya di kantin atau lebih parahnya lagi gadis itu kini sudah kekenyangan di sana, berbanding terbalik dengan dirinya.

Usai mengembalikan buku, Alana pergi ke ruang guru sesuai intruksi gurunya. Dilihatnya lelaki paruh baya itu tengah berkutat dengan sebuah laptop sambil sesekali membenarkan letak kacamata yang ia pakai.

"Tunggu sebentar lagi, aku akan menyelesaikannya."

Alana menelan ludah. "Iya, Pak."

'Jika saja kau bukan guru, aku pasti akan langsung mematahkan laptopmu sekarang juga!' Entah apa yang sedang dikerjakan oleh gurunya itu, namun kedua kaki Alana mulai terasa kebas.

"Nah, ini nilai ulangan kelasmu. Maaf karena sudah membuatmu menunggu. Wifi di sini akan segera diperbaiki jadi aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku."

"A-ah, ya. Tak apa." Alana menerima hasil ulangan itu dan membawanya ke kelas.

"Dia bisa memakai jaringan data, kenapa harus selalu memakai wifi? Dasar Pak Tua," cibir gadis itu begitu keluar. Pada akhirnya nafsu makannya kembali hilang. Ia membuang napas kasar dan memeriksa tumpukan kertas di tangannya untuk mencari kertas ulangan miliknya. "Sial. Perutku masih saja berbunyi." Alana merutuk pelan begitu ia tiba di kelas. Tumpukan kertas tadi ia berikan pada ketua kelasnya untuk segera dibagikan. Helaan napas kembali terdengar saat ia berjalan menuju mejanya. Halaman buku yang masih terbuka itu seolah menyuruhnya untuk kembali menulis.

Dengan perut yang sesekali berbunyi, Alana berusaha berkonsentrasi mengerjakan tugas. Rasanya malas jika ia harus mengerjakan tugas di rumah, apalagi dengan keadaan yang sekarang. Ia tidak akan pernah tenang mengerjakan tugas di rumah seorang Bagas Elvano.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Tiba-tiba ada sebungkus roti cokelat mendarat di atas meja, lengkap dengan sebuah susu kotak persis di hadapannya tidak lama saat ia menulis. Sontak senyum Alana mengembang. Kedua benda itu seakan jatuh dari langit saat sedang lapar-laparnya layaknya di film. Binar mata gadis itu masih belum berpaling dari roti cokelat yang menggiurkan.

"Ah, kau baik sekali. Terima kasih banyak, Mit-" Alana mendongak, sinar matanya berubah saat melihat sosok yang memberinya roti dan susu tersebut. Senyumannya lenyap di saat yang bersamaan.

"Makanlah," ujar orang itu. 

Stupid Marriage (New Version) ✔Where stories live. Discover now