Wedding Gift

403 36 6
                                    

Aku terdiam mencoba berpikir positif tentang perjalanan ini. Dua hari setelah pesta pernikahan kami, Dante memberikan hadiah berupa perjalanan bulan madu ke Jerman. Aku terkejut saat pagi-pagi ketika pria itu menghampiri kami keesokan harinya setelah pesta. Carl yang masih hangover pasca mabuk terlihat bingung, dan aku yang masih kesal dengan kejadian malam sebelumnya tidak punya alasan yang masuk akal untuk menolak.

Aku dan Carl memang belum merencanakan tentang bulan madu. Kami sepakat untuk memulai pernikahan kami dengan persahabatan. Saling mengenal lebih jauh satu sama lain, tanpa saling memaksakan untuk segera jatuh cinta. Aku bersyukur dia bersedia mendampingiku walau mungkin pernikahan kami tidak berjalan senormal pasangan lainnya. Lagipula aku juga belum bisa menghilangkan perasaanku pada Dante. Carl sepertinya menyadari itu tapi dia tidak bertanya banyak. Jadi kami sama sekali belum membahas tentang liburan walau Carl menawarkan apakah aku ingin pergi hanya untuk sekedar jalan-jalan? Orang kantor sih pasti merasa wajar jika kami pergi, toh mereka tidak akan tahu apa yang kami lakukan kan?

Sebenarnya aku bukan mempermasalahkan di hadiahnya, tapi....

Aku menoleh perlahan ke bangku belakang pesawat kelas bisnis ini, lalu tidak lama mataku dan mata pria itu bersirobok, sudut bibirnya terangkat saat melihatku dengan panik kembali menatap kedepan.

Untuk apa dia ikut juga dalam perjalanan bulan madu kami??!!

Aku mendesah frustasi. Belum hilang kekesalanku dengan ke'kurang-ajaran' yang dia lakukan di malam pernikahanku, sekarang kami aku akan menghabiskan waktu dengannya juga?

"Anna.."

Panggilan Carl membuatku tersadar. Ya ampun, kenapa aku harus resah dengan pria lain saat ada suami disampingku?

"Kamu masih marah?" Pria itu terlihat bersalah padahal sudah 4 hari berlalu sejak dia mabuk parah.

Aku menatap sekilas ke arah awan yang menghampar bagai bentangan rumput. "Sedikit." Sahutku sengaja mengusilinya.

"Maaf Anna, aku tau harusnya aku ga..mm..mabuk-mabukan begitu."

Aku menahan senyumanku tapi apa daya, Carl terlalu baik untuk di kerjai.

"Hehe.. kena kamu!"

Wajahnya terbingung sesaat lalu pecah tawanya. "Astaga! Muka marah kamu nyeremin loh.."

Aku mencubit lengan pria itu kemudian dengan sengaja meletakkan kepalaku dibahunya. Sengaja agar Dante melihat!

Aku memang memintanya untuk bersikap sedikit mesra jika di depan Dante, hanya untuk memperlihatkan jika kami menikah karena jatuh cinta. Aku tidak ingin Dante merasa masih memiliki kesempatan untuk mendekatiku. Aku tidak tahu bagaimana hubungan dia dengan wanita itu, aku tidak ingin tahu. Aku bertekad menutup hatiku untuk pria itu.

"Carl, kenapa Dante ikut pergi sama kita?"

"Oh, itu. Beberapa tempo lalu pak Reinhardt mau buka cabang di Jerman. Tapi tertunda, padahal udah ada beberapa kontraktor dan lainnya yang mau gabung. Nah, aku sama Pak Dante mau ketemu mereka. Pak Roy bilang impian pak Reinhardt harus tetap dijalankan walau beliau...udah ga ada. Sorry Anna."

Aku mengerjap cepat dan menelan salivaku. Aku jadi bimbang sendiri apakah pikiranku salah tentang niat buruk Dante? Entahlah..

"Ah, apa nanti kita akan ketemu sama Mama kamu?"

Aku baru tahu satu minggu jelang pernikahan, ternyata Carl berasal dari Jerman. Ayahnya sudah meninggal sejak kecil, hanya tinggal Ibunya yang masih menetap di Jerman bersama saudari perempuannya. Aku belum tahu banyak tentang latar belakang suamiku, dan tidak menduga juga kalau aku akan bertemu ibunya secepat ini, padahal saat kami akan menikah dan aku bertanya apakah Carl akan mengundangnya ke Indonesia, pria itu bilang ibunya tidak bisa datang karena terlalu mendadak.

✅ Love Doesn't LiesWhere stories live. Discover now