Bab Satu

57 35 111
                                    

"Radit, kita nggak sekelas."

Mau seberusaha apa pun mencari nama Maheswara Raditya dan Zefanya Ariza di kelas yang sama hasilnya akan tetap nihil. Nama mereka terpisah di kelas yang berbeda. Radit di kelas XI IPS 2 dan Aria di kelas XI IPS 4.

"Bagus kalau gitu," kata Radit santai seolah setuju mereka berpisah tetapi berbanding terbalik dengan apa yang dia lakukan. Matanya masih fokus menyelusuri mading sekolah, memastikan namanya dengan Aria berada di kelas yang sama.

"Ish," Cewek itu mendengus kesal. Bahkan, memukul keras lengan Radit. "Seneng banget kita pisah kelas."

"Pasti. Kapan lagi pisah sama Aria yang berisik?" Radit mengejek.

"Jahat emang. Nggak ada hati lo."

"Ini ada." Membentuk gambar love dengan jari. Radit terkekeh melihat Aria mencibir kesal."Terima aja, Ri. Lagian masih di lantai yang sama. Kepisah satu kelas."

"Ngaruh, Dit, ngaruh. Apa gunanya satu lantai kalau nggak bisa nanyain tugas?"

"Asem lo. Pengin sekelas karena ada maunya."

Aria nyengir. "Lo kan pintar. Sayang banget punya teman pintar kalau nggak dimanfaatin."

"Ri." Mata Radit menyipit, sinis. "Lo definisi beban yang sebenernya."

"Halah. Berisik lo kayak nggak pernah jadi beban aja."

Radit senyum, tipis. Bahkan, Aria nggak sadar kalau Radit tersenyum.

"Ah, Radit nggak asik," Aria mengeluh panjang. Masih kecewa keputusan Kepsek yang memisahkan mereka berdua. "Pindah kelas bisa nggak sih? Gue mau ajuin ke Kepsek nih. Siapa tau di Acc."

"Lo kata ni sekolah punya keluarga lo, hah? Seenak jidat minta pindah. Kalau bisa udah dari tadi tu anak-anak lain minta pindah biar sekelas sama bestienya."

Aria cemberut, mendengus kesal.

Bel masuk berbunyi. Para murid bergegas masuk ke kelas masing-masing. Kelas baru dengan segala hal barunya. Namun, Aria dan Radit masih di depan mading. Belum mau beranjak meskipun bel masuk sudah berdering agak lama.

"Ayo!"

Aria menoleh, cemberut. Malas-malasan ngikutin langkah Radit menuju lantai dua dimana kelas mereka berada. Mereka berhenti, tepatnya Radit, di depan kelas XI IPS 2.

"Ikut masuk." Aria udah nyelenong masuk tapi segera Radit tahan dengan menarik kerah bajunya. "Lepas, Dit! Nggak lucu."

"Alam lo bukan di sini." Radit memutar tubuh Aria menuju arah kelasnya. "Tapi di sonoh!" Lalu, mendorongkan supaya jalan.

"Ih, Radit! Jahat banget didorong."

Radit senyum menjengkelkan. "Maaf. Disengaja."

Aria mencibir. Kelasnya terpisah satu kelas dari kelas Radit. Masih dekat. Kalau istirahat masih bisa ke sana. Kapanpun juga bisa. Tapi sekelas dan nggak sekelas keseruannya pasti berbeda.Sebelum masuk kelas, Aria menarik napas panjang. Suka nggak suka ini kelasnya selama setahun ke depan. Meskipun terlambat tapi Aria berharap dia bisa sekelas dengan salah satu teman dekatnya dari kelas sebelumnya.

"Aria!" Seseorang memanggil Aria. Keras dan girang. Aria langsung mencari sumber suara. Di barisan kedua dari belakang seorang cewek melambaikan tangan, tersenyum lebar memamerkan gigi. "Duduk sama gue!"

Mata Aria berbinar seolah menemukan harta karun di pinggir laut tak berpenghuni dan membosankan. Dia bergegas menghampiri Alin. Duduk di sampingnya. "Alin! Beneran sekelas?"

Alin mengangguk semangat, berpelukan seperti sahabat yang sudah lama tak berjumpa. aslinya cuma nggak ketemu dua minggu dan seminggu sebelum masuk mereka main.

"Gue hampir minta pindah kelas ke Kepsek gara-gara nggak sekelas sama Radit tapi kalau ada lo di sini bolehlah."

"Sultan yang punya banyak duit lo minta pindah kelas ke Kepsek langsung?"

"Gue kan donasi SPP, Al. Bisalah."

"Kurang ajar," kata Alin terkekeh. Aria ada benarnya. "Lagian lo nggak sadar ada nama gue di daftar kelas? Ada nama Hira juga."

"Bohong lo?!"

"Lihat aja sana kalau nggak percaya."

"Ih masa sih? Gue nggak liat tau."

"Apalah arti gue dan Hira kalau fokus lo ke Radit seorang?"

Aria nyengir. Alin memang paling tau. Dia emang kepengen banget sekelas sama Radit. Dari SMP kelas tujuh sampai SMA kelas sepuluh mereka selalu di kelas yang sama. Wajar aja Aria minta pindah kelas. Udah nyaman sekelas sama Radit. Jadi, sewaktu pembagian kelas dan mereka nggak sekelas keduanya sama-sama menyangkal hal tersebut. Aria nggak sadar kalau di kelas IPS 4 ada Alin dan Hira juga. Ditambah tadi dia datang mepet bel masuk jadi dia nggak punya waktu banyak mencari nama Alin dan Hira.

"Anjir kebanggaan Jayakusuma di sini!"

Semua mata di kelas langsung tertuju pada sosok cowok yang baru masuk kelas. Cowok itu nyengir tipis dengan tas tersampir di bahu kanan. Nggak lupa mengangkat tangan sebagai tanda salam.

"Kenapa bisa lo di sini? Lo kan pintar, Pram. Nggak cocok di kelas ini. Ini mah kelas buangan." Biarpun candaan Malvin menyakitkan dan merendahkan tapi kenyataannya memang seperti itu. Udah kelas buangan, paling pojok, dan terpencil. Suram banget.

"Biar lo pada ketularan pintar." Koar membahana langsung memenuhi seisi kelas. Bahkan, Aria dan Hira ikut bersuara.

"Tapi nggak pa-pa, meskipun buangan kalau ada Pram sih aman. Yakin deh sama gue IPS 4 bisa jadi juara." Tadi dijatuhin sekarang disemangatin. Semudah itu emang Malvin membolak-balikkan mood. "Pak Ketua yang dicintai IPS 4."

"Nggak gitu dong cara mainnya."

"Nggak ada kandidat lain yang mau mencalonkan ketuas kelas kalau ada lo, Pram," kata Malvin mewakili seluruh warga IPS 4. "Kami semua selaku warga IPS 4 akan mematuhi seluruh perintah Bapak Ketua agar kelas kami tidak bisa dipandang sebelah mata."

Pram terkekeh, santai menyikapi candaan Malvin meskipun kemungkinan besar soal dia yang akan jadi ketua kelas adalah benar.

Sementara para cowok sudah larut dalam obrolan seputar pertandingan bola semalam, Aria dan Alin saling tatap dalam diam. Namun, pikiran mereka bergemuruh ingin meluapkan uneg-uneg. Nggak bisa tahan dan nggak bisa dikontrol. Sekali lepas bakal susah berhenti dan berisik banget.

"Pram?" Aria bertanya, memastikan kalau itu memang Pram yang dia maksud. takut hanya mimpi tapi sulit dipercaya jika ini mimpi. "Akandra Pramudya? Doi gue?"

Alin mengangguk semangat, meyakinkan Aria kalau itu memang Pram yang dia maksud.

"Demi apa?" Mati-matian Aria menahan histeris.

"Demi gue pacaran sama Song Jongki."

"Males banget." Aria memutar kedua bola mata. "Gue mimpi apa semalem sampai bisa sekelas gini? Duh! Kalau gini ceritanya sih gue nggak bakal mau minta pindah. Biarpun nggak sekelas sama Radit, lo, dan Hira kalau sekelas sama Pram gue cabut sih."

"Kurang ajar emang ada butuhnya aja lo ngemis-ngemis bantuan."

"Itulah bun definisi teman sesungguhnya. Datang ketika butuh dan pergi ketika tidak butuh."

Biru dan Abu-AbuWhere stories live. Discover now