BAGIAN 6: THE SILVER LINING

737 33 0
                                    

Wolfach, Schwarzwald, Deutschland.

Yaiyalah ini aku! Memangnya kamu pikir siapa?” seru Hansel dengan suara melengking aneh.

“Aku nggak mikirin siapa-siapa. Aku cuma—sudahlah,” Jens tak melanjutkan argumennya dan mulai menggeledah isi saku celana nudie Hansel tanpa menurunkan senjatanya dari kening Hansel.

“Ngapain sih?!” seru Hansel lagi.

“ID card,” sahut Jens tak sabar.

“Bukan disitu! Di dompet, di saku belakang—yang kiri! Bukan yang kanan!” Hansel menginstruksikan tak sabar, “Bisa tolong lepaskan borgolnya, nggak?”

Jens berhasil menemukan kartu identitas Hansel dan membacanya dengan seksama.

“Atau mungkin bisa tolong singkirkan pistolnya?” bujuk Hansel.

“Hansel Chaad Lichtenberg,” gumam Jens sambil mencocokkan foto di kartu identitas dengan wajah orang di hadapannya.

“Orang tua angkatku mengganti namaku,” Hansel memberi penjelasan.

Ya, ya. Aku tahu,” ujar Jens. Akhirnya ia menyingkirkan pistolnya dari kening Hansel, membuka borgol, lalu mengembalikan dompet dan kartu identitas Hansel.

“Kamu tahu? Jadi kenapa kamu mau nembak aku?” tanya Hansel, merasa agak sakit hati karena tak dikenali oleh salah satu sahabat masa kecilnya.

Ya karena mereka nggak pernah ngasih tahu foto terbarumu,” sahut Jens dengan santai sambil memungut telepon Hansel yang tergeletak di rerumputan dan mengembalikannya pada Hansel, “Demi kucing Schrödinger, aku nyaris menghilangkan nyawamu. Nggak kebayang apa yang akan mereka lakukan padaku kalau aku benar-benar membunuhmu.”

“Mereka?” Hansel kebingungan, “Mereka siapa maksud—”

Jens tiba-tiba saja menempelkan telunjuk di bibirnya, mengisyaratkan agar Hansel diam sementara kedua matanya tampak waspada dan senjata apinya siap melepaskan tembakan. Selang beberapa saat, sebuah mobil es krim melintas lalu menghilang di tikungan jalan.

“Cuma jaga-jaga,” kata Jens sambil menurunkan pistolnya lagi.

“Sejak kapan diijinkan pegang senjata api? Kita cuma beda setahun,” kata Hansel.

“Dengarkan aku, Hansel, ada yang janggal, dan tempat ini sama sekali nggak aman untukmu. Kamu sebaiknya pulang ke Munchén. Aku akan pesan taksi untuk mengantarmu ke stasiun, dan sebaiknya kamu sembunyi di rumahku sampai taksinya datang. Ok? Sekarang ikuti aku, cepat!” kata Jens dengan sangat cepat—nyaris tanpa jeda—sambil melemparkan semua buket bunga ke belakang batu nisan. Lalu ia menarik lengan kurus Hansel dengan tangannya yang besar dan kuat, menuntun Hansel menuju rumah terdekat—rumah keluarga Jessen—dengan Fox berlari mengekor di belakang.

Cengkeraman Jens begitu kuat dan ia menarik Hansel seakan-akan Hansel merupakan seorang tahanan yang baru kabur dari penjara. Kasar sekali, mengingat dulu mereka bersahabat dan Hansel masih ingat betapa ramahnya Jens dahulu—mereka main sepeda bersama-sama, bermain Lego, mengoleksi puzzle, keluyuran di Schwarzwald, suka aero modeling

“Jens, dengar, jika ada orang yang pantas bilang “ada yang janggal”, seharusnya aku yang ngomong, bukannya kamu!” protes Hansel saat setengah berlari mengikuti langkah Jens. Tubuhnya tinggi kurus tersandung-sandung terbawa tarikan tubuh besar Jens.

Jens sama sekali tak menghiraukannya dan terus menarik Hansel sampai ke rumahnya. Bagian depan rumah keluarga Jessen sama sekali tak berubah, masih tipikal rumah tradisional Jerman yang lumrah ditemukan di seantero kota-kota kecil di Jerman.

Alpha Centauri and the Woodlands Chantress (Bahasa Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang