[39] Berusaha Percaya

29 3 7
                                    

Najwa menarik knop pintu kelas Manajemen 2 dengan hati-hati. Aneh, pikir Najwa. Tidak biasanya pintu kelas tersebut tertutup rapat, apalagi ini sudah menuju dua puluh menit sebelum kelas dimulai.

Kemudian dilihatnya Arga sedang duduk di meja dosen sembari memainkan ponsel. Netra Najwa dan Arga saling bertemu. Namun, Arga langsung memelengoskan wajah, seperti enggan berbicara dengan Najwa.

Hati Najwa terasa panas. Dia sedih ketika mengetahui bahwa hubungannya dengan Arga harus kembali menjauh, bahkan lebih jauh dari sebelumnya. Najwa merindukan Arga sebagai teman baiknya, yang membuatnya merasa nyaman dengan pertemanan antara lawan jenis.

"Arga?" ucap Najwa dengan lirih.

Najwa segera mendekati Arga. Meskipun dia tahu bahwa Arga masih marah kepadanya, tetapi Najwa tetap berusaha untuk memperbaiki semuanya. Setidaknya kalau dia tidak bisa memiliki hati Arga, dia masih dapat bersahabat dengannya.

"Sampai kapan kamu mendiamkan aku seperti ini, Ga? Aku minta maaf. Tolong jangan terus diam. Aku mau kita berteman seperti dulu," ucap Najwa kepada Arga.

Arga sama sekali tidak menggubris ucapan Najwa. Dia berpura-pura sibuk dengan ponselnya, sehingga tidak perlu menjawab pertanyaan gadis itu. Sama seperti Denisa yang sedang dijauhinya, Arga juga ingin menjaga jarak dengan Najwa. Dia tidak ingin kedekatan di antara mereka membuat banyak orang salah paham.

"Ga, kamu punya telinga, 'kan?" kata Najwa lagi, sebab belum mendengar jawaban dari Arga.

Sayangnya, sekuat apa pun Najwa berusaha, Arga tetap kekeuh pada keputusannya. Dia tidak ingin berkomunikasi lagi dengan Najwa, jika itu hanya akan mendatangkan kesalahpahaman.

Sikap Arga seperti inilah yang membuat Najwa kian bingung. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, apakah harus ikut menjauh atau terus coba mendekat. Baginya, didiamkan oleh Arga itu menyiksa. Najwa merasa diamnya Arga sangat berbahaya. Arga itu misterius, sulit ditebak jalan pikirannya. Dan hal itulah yang membuat Najwa menjadi salah tingkah.

"Arga, jangan diam terus. Pliss, jawab aku." Najwa langsung merebut ponsel yang selalu Arga mainkan. Dia sengaja melakukan ini agar perhatian Arga tidak selalu tertuju pada ponselnya dan sudi menatap wajah Najwa ketika berbicara.

Arga langsung berdiri, menatap Najwa dengan geram, lantas merebut ponselnya dengan kasar. Dari gerak tubuh Arga, Najwa sudah dapat melihat jika laki-laki itu sangat murla kepadanya.

"Jangan pernah berharap pada sesuatu yang hancur. Karena gelas yang retak tidak akan pernah bisa kembali utuh, bagaimanapun cara memperbaikinya. Mundur dan menjauh, itu lebih baik untuk kita," ucap Arga, memberi ketegasan kepada Najwa.

Perkataan Arga benar-benar menghancurkan Najwa. Laki-laki itu sungguh tidak mau berdekatan dengannya, meski sebagai teman satu kelas.

Najwa langsung berjalan ke bangku yang kosong, dengan wajah yang masih menyimpan kesedihan. Mood-nya untuk berkuliah hari ini dihancurkan oleh sikap dingin Arga. Andai ada cara untuk mengembalikan keadaan seperti semula, Najwa akan mencobanya.

Di sudut lain, Wildan yang baru saja memasuki kelasnya, langsung berjalan mendekati Najwa. Senyuman yang merekah, ditunjukkannya kepada Najwa. Lantas Wildan duduk di kursi yang berada di sebelah Najwa.

Sejak Najwa mengetahui perasaan Wildan, laki-laki itu menjadi begitu gencar dalam mendekati Najwa. Wildan mulai menunjukkan perhatian-perhatian kecil, yang selama ini sering disembunyikannya, agar Najwa dapat membuka hati untuknya.

"Lo enggak apa-apa?" tanya Wildan kepada Najwa.

Najwa menganggukan kepalanya. "I'm fine."

Bangish (Badboy Nangish)Where stories live. Discover now