13. Sepimu

5.6K 1.1K 325
                                    

ODY

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

ODY

Minggu, 16 Desember 2018 pukul 20.37

Hidup ini akan lebih mudah, andai perkara patah hati sama sederhananya dengan jatuh cinta.

Waktu aku jatuh cinta, paling-paling aku kerepotan mengurusi kupu-kupu yang beranak pinak di dalam lambung dan usus besarku. Waktu aku kasmaran, paling-paling aku kelelahan mengomeli jantungku yang tidak bisa berhenti bernyanyi seperti biduan di kondangan. 

Beda cerita ketika aku patah hati, kan?

Aku kesulitan menyusun jantung yang meletus dan serpihannya pecah tidak berseri. Aku kesulitan mengeja asa yang sudah kususun rapi jali. Aku kesulitan menganyam kembali rasa percaya bahwa patah hati hanya sementara, nanti akan ada kisah baru lagi. Masalahnya, ini hatiku yang tergelincir, bukan kakiku yang terkilir.

"Habis dari mana, Do?" Nada tegurku sedingin es batu.

"Kerja," imbuh Edo, dengan suara renyah dan hangat seperti biasanya. "Kamu tahu, proyek yang waktu itu  ...."

Edo meneruskan bicara dari seberang sana, seperti anak kecil yang baru bertemu toko permen kesukaannya, sementara aku adalah orang dewasa yang tidak pernah benar-benar pasang telinga.

Aku ini naif, bukan? Aku patah hati dan aku mencari pelarian. Aku putus asa dan memutuskan menalikan kepercayaanku pada ramalan. Kini setelah semuanya berjalan dan berbunga tidak sesuai harapan, perasaanku tidak karuan.

"What are we, Edo?" tukasku, memotong pembicaraan.

"W-what? Gimana maksudmu?"

"What about us?" Suaraku dibalut rasa perih yang tajam. Ia telah merasakan rasa bibirku, apa lagi yang membuatnya ragu? "What are we?"

"Kenapa jadi nanyain ini, Dy?" Indera pendengaranku mendeteksi rasa tidak suka di setiap penggalan kata.

Memangnya tidak boleh aku menanyakan ini?

Mudah sekali ya bagi manusia zaman sekarang. Dahulu, bibir ke bibir adalah pengejawantahan cinta. Sekarang, apalah artinya, jika pergumulan sepasang kelamin saja dengan sepele dianggap tiada artinya.

"Aku cuma mau tahu," kilahku.

"Aku pun tidak tahu." Kutebak, Edo menjawab itu sembari mengedikkan bahu. "Aku ke kamu, Dy–aku gak tahu."

Dadaku berubah menjadi langit yang mendung. Ada awan kelabu, guruh mungil, dan hujan yang cerdik menyempil.

Edo sebetulnya tahu, sejak awal ia enggan memilih. Aku pun sejak dahulu tahu, aku hanya menjadikannya sarana agar cepat pulih.

Betapa ketidak tahuan yang dipura-purakan itu menyakitkan, sayang.

Aku baru tahu, Edo milik Tania kini. 

Duhai, mengapa aku merasa dicuri, padahal aku tidak pernah memiliki?

***

Closing Closure ✔️ | ODYSSEY vol. 2Where stories live. Discover now