Ada Apa dengan Bocil?

796 47 3
                                    


"Mbaaaaak!"

Astagaaa! Itu bocah ngapa, sih? Gegas aku ke kamarnya. Sampai di depan pintu, aku berhenti. Takut kalau-kalau dia cuma modus doang.

"Kenapa?" tanyaku dari luar pintu.

"Ya elah, masuk, Mbaaaak!"

"Ogah! Ini pasti cuma akal-akalan kamu aja, 'kan? Cuma mau modus, 'kan?"

"Kagak, Mbaaak. Sumpah! Aku butuh pertolongan."

"Pertolongan apa? Jelasin dulu!"

"Udah, buruan masuuuk!"

Kenapa dia? Terjepit resleting? Jadi ngeri mau masuk.

"Oke, aku masuk, tapi awas ya, kalau kamu cuma iseng! Apa lagi kalau berpikir mau macem-macem!"

"Ya elah, Mbaaak, nethink muluk, heran! Buruan napa, Mbak!" Dia ngegas.

Kubuka pintu perlahan sambil bersiap pasang kuda-kuda kalau-kalau ada serangan mendadak dari si Bocil. Pertama-tama aku melongokkan kepala ke celah pintu yang aku buka sedikit. Melihat ke dalam, rupanya bocil sedang berdiri di pojokan. Ekspresinya terlihat ketakutan.

"Ada apaan?"

Dia nunjuk ke tembok. Aku perlahan masuk, sambil sesekali melirik ke arah si Bocil berada, ngeri kalau dia nyeruduk, tau gak, sih. Ngerinya sama kayak lagi satu frame sama Banteng.

Aku menghela napas kasar setelah melihat apa yang tadi dia tunjuk. Berbalik ke arahnya, berkacak pinggang. "Gak lucu tau gak, sih?! Orang udah laper mau masak, malah dikerjain!"

"Siapa yang ngerjain, Mbaaaak. Aku beneran takut sama hewan ituuuu!" Dia bergidik geli.

"Hah?! Se-seriusan kamu takut sama belalang?" Aku masih gak percaya. Menatapnya lalu melirik Belalang yang lagi anteng nempel di tembok. Tersenyum jahil. Akhirnya aku menemukan kelemahanmu, Cil.

"Mbak, jangan pernah berpikir untuk ngerjain aku, ya! Aku bener-bener gak suka sama itu hewan!" tegasnya menuding.

"Tadi kamu ngatain aku 'jangan nethink' sekarang kamu sendiri yang nethink. Geer, lagian kamu pikir aku segabut itu apa? Emangnya kamu, jiwanya penuh dengan kejahilan! Ngeselin!"

"Ngeselin, tapi ngangenin, 'kaaan?"

Aku mendengus kesal, menangkap itu Belalang. Tapi susah, kabur-kaburan. Sementara si Bocil menjerit ketakutan.

"Kamu bisa diem, gak, sih, Cil? Berisik!"

"Aku beneran takut, Mbak!" sungutnya.

Kubuka jendelanya lantas kucoba usir itu Belalang agar keluar lewat jendela. "Lagian, heran deh? Penampilan oke, kelakuan tengil. Ama Belalang takut," ledekku.

"Bukan takut, Mbaaak. Lebih tepatnya geli. Soalnya aku alergi sama itu hewan. Kalau sampai nempel di badan, bisa bentol-bentol seluruh tubuhku. Emangnya Mbak mau nanti garukin?"

"Idih, ogah! Mending garukin ketek Gorila." Aku lanjut mengusir itu Belalang menggunakan sapu, sampai akhirnya berhasil memukulnya mundur. Belalang pun kabur keluar dan terbang ke alam bebas. Dia menghela napas lega, mengusap dadanya. Bersandar pada tembok. Gegas kutarik lengannya menuju ke dapur. Tak memedulikan dia yang nyerocos protes.

"Karena kamu udah bikin energiku terkuras abis gegara ngusir itu Belalang, sekarang kamu yang masak!" Kutinggalkan dia di dapur sendirian.

"Masak yang enak! Awas, kalau sampai gak enak!" ancamku dari ruang tengah.

"Siap, Ratukuuu!" sahutnya. Aku meraih remote dan menyalakan televisi.

*****

"Mbak, makan malem udah siap, nih!" teriaknya setelah beberapa menit berlalu. Cepet amat, masak apa tuh, bocah? Aku melangkah ke ruang makan.

SUAMIKU BOCAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang