"Aku Reno, temen SMA-mu, masa lupa. Aku aja masih inget sama kamu, Fa."Dahiku mengernyit, sudah mulai ingat dengan pria berjas hitam senada di depanku. Aku berdiri dan menyalaminya. Tak kusangka dia menarik tubuhku ke dalam rengkuhannya. Mataku membulat seketika sebab reaksinya. Dia mengaku kangen serta senang bisa bertemu aku di sini.
Cepat aku menarik diri dari rengkuhannya saat si Bocil yang duduk di kursi belakang Reno ekspresinya semakin tidak bersahabat. Sementara teman-temannya banyak yang riuh menggodanya dengan bernyanyi, "Panas, panas, panas, hati ini."
Ada juga yang menyanyi lagu, 'haredang' sambil memukul-mukul meja sebagai instrumen pengiring. Reno sempat menoleh ke arah anggota gengnya si Bocil yang riuh, tapi sepertinya dia tidak memahami kalau dialah penyebab kegaduhan yang tengah terjadi. Reno kembali menatapku dengan binar bahagia.
"Kamu beneran Reno?" Aku sudah mulai ingat. Dia mengangguk, "Ya ampun kamu sekarang beda banget. Aku pangling. Dulu kamu gak brewok begini. Mulus dan ... maaf, terlihat culun. Sekarang kelihatan macho banget," pujiku. Lolos begitu saja. Lupa kalau ada hati yang harus aku jaga.
"Kamu bisa aja, Fa. Sudah lama kali. Bahkan dalam jangka waktu sehari saja orang bisa berubah. Ye gak?" Reno mengedikkan alisnya.
Aku mengangguk-angguk. "Iya, juga, sih." Kemudian melipat tangan di dada.
"Oya, kamu ngapain di sini?" tanyaku kemudian.
"Aku, owner kafe ini. Kebetulan lagi melakukan peninjauan."
"Oh, gitu. Wah, sekarang kamu sudah jadi orang sukses, ya?"
"Ah, biasa aja," jawabnya merendah, "Kamu sendiri, ngapain di sini larut malem begini?"
"Eum, seperti yang kamu liat." Aku nunjuk makanan di mejaku.
"Oh, iya ya, lagi makan ya?" tebaknya, aku menganggu. Reno lantas mempersilakan aku duduk lagi, dan dia meminta izin untuk bergabung. Aku mengangguk mengiyakan. Sengaja, mau bikin bocil panas. Pegen liat dia cemburu apa enggak.
Reno pun menarik kursi kosong ke sebelahku. Saat dia siap duduk, bocil mendahului menduduki kursinya. Aku mengatupkan bibir manahan tawa. Dahi Reno mengernyit menatap si Bocil dengan tatapan kesal.
"Kenapa? Ada masalah?" tanya si Bocil tengil.
"Ini kursi saya, Mas," terang Reno agak ngegas.
Bocil menggeser kursinya menjadi sangat mepet dengan kursiku. Lalu merangkul bahu ini. "Dan ini istri saya!" jelasnya penuh penegasan.
Reno menelengkan kepalanya, tak percaya mungkin. "Apa yang dia bilang barusan bener, Fa?" tanyanya kemudian.
Aku menghela napas panjang. Melirik bocil yang sudah terlihat sangat kesal. Mengulum bibir manahan tawa. Sebagian anak motor ada yang berdehem menggoda kami. Sementara para gadis, terdiam membatu di tempat masing-masing.
"Sayangnya benar," jawabku kemudian. Reno tersentak, kaget mungkin.
"Kok, sayangnya, sih?" protes si Bocil ketus.
Reno cukup lama dia tertegun. Matanya bergerak menatapku dan menatap bocil. Mungkin dia merasa aneh dengan perbedaan usia kami.
"Okelah, selamat atas pernikahanmu kalau gitu."
"Terima kasih, Ren."
"Oya, salam kenal aja buat kamu." Reno mengulurkan tangan ke hadapan si Bocil. Aku mengulurkan tangan siap mewakili si Bocil yang tak kunjung menyambut uluran tangan Reno. Barulah suamiku yang gemesin itu cepat-cepat menyalami tangan Reno dan saling tukar nama.

YOU ARE READING
SUAMIKU BOCAH
RomanceAWAS BAPER KUADRAT!!! Sama keuwuan bocil Dafa 19 tahun with istrinya, Mbak Safa 29 tahun. Ya, sejauh itu selisih umur suami istri ini.😉