Bebas

484 50 11
                                    


"SERAAANG!!!" teriak beberapa dari orang bermotor itu. Mereka pun lantas turun dan berlarian memasuki rumah ini dari jendela juga dari pintu.

Ani, Lita, Nita dan Fifi ikut melihat dari kaca jendela. Aku merasa ngeri dengan keributan yang terjadi di bawah sana. Terdengar sangat gaduh sekali. Mulai dari suara barang pecah, dan juga teriakan dari orang-orang yang adu jotos.

"Mereka siapa lagi?" lirih Ani. Aku mengedikkan bahu tanda tak tahu. Keempat gadis kembali duduk bersisian di tepi kasur. Raut wajah mereka diselimuti ketakutan dan kecemasan. Aku mendekat dan turut duduk di antara mereka berempat. Menenangkan dan menguatkan, meski sebenarnya aku sendiri juga sama merasa khawatir dan takut.

Cukup lama kegaduhan di bawah sana. Perlahan mulai sepi. Entah pihak mana yang kalah atau menang. Anggota geng motor tadi atau para komplotan sindikat penculikan. Aku tak tahu. Hanya suaranya saja yang terdengar.

"Buka pintunya!" teriak seseorang dari arah luar kamar ini. Mataku seketika membulat. Keempat gadis pun merangsek, bergelayut di lengan kiri dan lengan kananku. Mereka merengek ketakutan. Dipikir aku tidak takut? Aku pun juga takut.

"Cepat buka!" Lagi pria di luar sana berteriak. Entah berteriak kepada kami atau mereka sedang menggertak seseorang di luar sana. Aku memilih diam, sambil menahan jantung yang berdebar-debar tak keruan.

Tak lama knop pintu bergerak-gerak. Aku memejamkan mata merasa ngeri. Mundur perlahan diikuti keempat gadis. Sampai akhirnya kami berlima terpojok di sudut kamar. Aku tersentak saat pintu akhirnya terbuka. Mataku memonitor daun pintu yang semakin lebar terbuka, menunggu siapa yang ada di baliknya.

Ternyata seorang pria berkepala plontos tengah ditahan oleh beberapa geng motor tadi. Wajahnya babak belur dan kondisinya sangat mengenaskan. Keempat gadis yang mengapitku semakin ketakutan. Mereka kian merangsek menghimpit badanku.

"Kasih tahu Boss, kalau target sudah ditemukan!" titah salah satu dari cowok yang berjaket senada. Cowok yang diperintah mengangguk patuh lalu menelepon seseorang. Memberitahukan letak keberadaan kami. Tak lama datanglah seorang pria dengan  langkah tergesa.

Aku masih berdiri di sini, membatu. Menatap pria itu dari kejauhan tak percaya. Pun dengan pria tersebut. Dia juga tertegun beberapa saat. Sebelum akhirnya mendekat dengan mata yang berkaca-kaca.

"Mimu! Mimu gak apa-apa, kan? Gak ada yang luka, kan? Gak ada yang nyakitin kamu kan, selama di sini?" cerocosnya. Aku masih tertegun tak percaya. Antara percaya dan tidak dengan apa yang aku lihat sekarang. Masih takut. Takut kalau ini hanya mimpi lagi atau hanya sebatas haluku semata.

"Kakak kenal sama cowok ini?" tanya Nita. Aku terkesiap. Menatap lekat pria yang kini sudah membingkai wajahku dan menatapku penuh kecemasan.

"I-ini beneran kamu?" tanyaku masih tak percaya. Dia mengangguk mengiyakan. Aku coba cubit dia sekuat tenaga di bagian perutnya. Dia berteriak sekuat tenaga juga. Kini aku yakin, bahwa ini bukan mimpi atau hayalanku semata. Dia beneran datang menyelamatkan aku.

"Kok malah dicubit, sih?" protesnya tak terima, "Udah ditolongin, bukannya kasih sambutan hangat, kasih kecupan atau ...." Cepat aku menghambur ke pelukannya. Tangisku pecah. Dia mengusap  puncak kepala ini lembut.

"Tak pikir kamu gak bakalan nemuin aku?" lirihku parau.  Lantas menarik diri dari rengkuhannya. Dia menyelipkan rambutku yang berantakan ke belakang telinga. Mengusap air mata yang membasahi pipi. Lalu tersenyum. Wajahnya bonyok lagi.

"Aku pasti akan selalu menemukanmu. Tenang aja!" balasnya penuh percaya diri.

"Iya. Asal hp Kakak selalu aktif," sahut salah satu cowok yang sedang memegangi pria plontos supaya gak kabur.

SUAMIKU BOCAHWhere stories live. Discover now