Bagian Sembilan

737 80 2
                                    

Alan lega begitu melihat sang kakak kembali memasuki kelas di jam istirahat pertama. Meskipun jangan ditanya lagi apakah kakaknya itu masih menyapanya atau tidak. Jika dengan Afka, persoalan yang sebagian orang menganggap tak penting saja pasti berkelanjutan.

Hingga tak berselang lama setelahnya, sang kakak kembali melewatinya. Sosoknya melangkah tergesa-gesa menyusul si ketua kelas dengan sohibnya yang sudah pergi lebih dulu.

"Buruan kantin."

Denta sudah mendekati mejanya. Awalnya, ia akan menolak. Namun, tak jadi. Ada rasa tak enak yang mengendap jika ia menolak hanya karena alasan pribadi. Oleh karenanya ia mengangguk, berjalan beriringam dengan sosok yang lebih tinggi darinya.

Hari ini, kantin tampak lebih ramai dari biasanya. Entah apa faktor penyebabnya. Mungkin saja hujan membuat banyak siswa takut kesiangan sehingga memilih tak sarapan. Atau mungkin saja hujan esok tadi membuat beberapa orang justru terlena bergelung dengan selimutnya sehingga bangun kesiangan. Bisa juga cuaca hujan mendung mengundang hawa lapar dan dingin sehingga makanan berkuah hangat di kantin menjadi sasaran.

"Kak, gabung di meja mereka aja, masih ada satu kursi kosong. Biar aku gabung sama kelas sebelah," ucap yang lebih muda melirik bangku yang ditempati Afka dan yang lain, kemudian beralih menoleh ke bangku lain.

Tatapan Denta ikut beralih. Remaja itu akhirnya mengangguk mendapati meja sebelah memang diduduki teman olimpiade anak itu beserta temannya yang lain.

"Kak, gabung ya?"

"Eh, gabung aja. Kantin lagi rame emang," ucap Raffa yang memang sudah cukup dekat dengan Alan. Mereka itu teman seperjuangan. Bedanya, Alan terekrut di olimpiade matematika sementara Raffa terekrut untuk olimpiade IPA.

Alan mengangguk, melemparkan senyum sopannya untuk teman-teman Raffa yang ia akui jika mereka memang hanya sebatas kenal saja. Tak berlama-lama, sosoknya bangkit untuk berbaris antre memesan.

"Makan, Kak," ucapnya setelah tiba kembali di meja.

"Makan aja, Lan."

"Nggak ikut pergi?" Tanya Alan menyadari jika dua teman Raffa sudah pergi sementara Raffa masih duduk anteng -anteng saja menikmati secangkir coklat hangat.

"Gue belum selesai. Mereka anak OSIS, ada urusan tadi. Ini makanan mereka aja nggak habis."

Alan mengangguk-angguk paham. Sejujurnya, ia sudah mengetahui hal ini. Wajah-wajah pengurus organisasi memang cukup familiar baginya.

Anak itu mulai menyendok makanannya,  sama halnya dengan Raffa. Bedanya, soto di mangkuk Raffa sudah hampir habis.

"Oh ya, gue ada latihan soal. Pas nyari dapetnya kebanyakan matematika. Ya udah, gue simpen aja. Kalau mau, nanti gue cari file nya."

"Thanks, Kak. Ntar aku mampir ke kelas aja."

"Oke, gue tunggu. Duluan ya!"

Alan mengangguk mengulum senyum. Tersadar akan sesuatu, netranya melirik ke meja lain. Rasa khawatir menyeruak kala tak mendapati Afka bersama yang lain. Diabaikannya makanan miliknya yang belum habis. Sayang, anak itu lebih memilih melangkahkan kakinya meninggalkan kantin daripada menanyakannya lebih dulu.

Kakinya menyusuri koridor kelas delapan. Sementara bola matanya melirik ke koridor lain, memindai barangkali akan menemukan Afka. Ruang UKS sempat mencuat di pikirannya. Namun, langkah kakinya justru tak bergerak ke sana. Alan ingat jika kedua teman Raffa ada urusan OSIS, tentu Afka yang posisinya sebagai wakil ketua juga berpotensi terlibat bukan?

Demi meyakinkan dugaannya, anak itu berbelok arah. Tujuannya adalah ruang OSIS. Setidaknya ia harus memastikan jika Afka baik-baik saja.

"Orangnya balik."

AkalankaWhere stories live. Discover now