Part 30

529 61 0
                                    

Kalau ada typo, bantu tandai ya!

↖(^ω^)↗

Denara tak menyangka jika ada kejutan besar dibalik pintu yang ia buka. Wanita cantik itu berdiri membeku menatap tiga sosok di hadapannya. Ada Risa yang balik menatapnya meminta maaf, sosok laki-laki paruh baya berbaju hitam yang Denara tebak adalah sopir di keluarga itu, serta wanita yang duduk di kursi roda yang menatapnya sendu. Sekian tahun berlalu, banyak pula perubahan yang dapat Denara lihat.

"Mbak, maaf." Risa memanggil, ada nada keraguan di dalamnya.

"Apa boleh kami masuk?"

Tidak boleh. Itu suara hati Denara. Seharusnya dirinya marah, meledakkan emosi itu seketika. Risa mengingkari ucapannya. Tapi, kenapa sekarang ia justru terdiam tak mampu? Melihat wanita yang duduk di kursi roda itu secara otomatis sama saja menyingkap semua memori lama.

Dulu wanita itu begitu menyayanginya, membanggakannya di mana-mana. Mungkin rasanya terdengar kurang ajar, tetapi Denara justru merasa lebih disayangi wanita itu daripada ibunya sendiri. Namun, keadaan membuat semua itu berbalik. Rasanya sakit sekali ketika seseorang yang begitu menyayangimu berbalik membencimu. Berbeda dengan orang yang sudah sejak awal tak menyukaimu, rasa sakitnya mungkin tak sedalam itu.

"Nak, boleh Ibu masuk?"

Denara ingin mengatakan 'tidak' dengan tegas. Namun, entah mengapa kata itu tak sampai kala melihat wanita yang dahulu tampak lincah dan ceria menjadi nampak ringkih dan tak bahagia. Logika dan lisannya selalu mengatakan tak peduli, namun tidak dengan nuraninya yang mengatakan sebaliknya.

"Mbak?"

Denara mengangguk, berbalik melangkah lebih dulu bermaksud menuntun mereka untuk masuk.

Risa lega. Perempuan itu menyuruh pria paruh baya yang mendorong kursi roda mertuanya untuk pergi.

"Duduklah."

Risa mengangguk patuh. Baru saja akan membuka suara, Ratna yang tak lain ibu mertuanya sudah mendahului.

"Kamu tidak merindukan Ibu?"

"Anda bukan Ibu saya. Jangan menanyakan hal yang bukan-bukan," ujarnya tegas.

Denara tahu dirinya keterlaluan. Tapi, kilas memori bagaimana wanita itu mencela dirinya dan putranya sungguh tak bisa ia lupakan. Seharusnya wanita itu juga malu bukan jika mengingatnya? Denara harap wanita itu tidak lupa terhadap apa yang sudah ia lakukan.

"Ibu minta maaf. Ibu mengaku salah, Ibu menyesali semua itu." Ratna sudah tenggelam dalam tangisnya. Risa mendekat, mengelus punggung wanita yang sudah memasuki usia awal enam puluhan itu dengan lembut.

"Bagus jika Anda sadar. Sebentar lagi putra saya pulang. Hanya sekali ini dan jangan menemuinya lagi." Tegas Denara menahan emosinya. Kini tatapan tajamnya beralih ke sosok wanita yang sudah mengingkari ucapannya.

"Lanjutkan sandiwara itu."

Bukan hanya Risa, Ratna juga cukup paham apa yang dimaksud ibu dari cucunya itu.

"Sedikit pun.. Apa sudah tidak ada rasa kasihmu buat Ibu?"

Tangan Risa kembali mengelus punggung Ratna. Ia sudah menduga hal ini terjadi, tapi menolak keinginan wanita itu juga amat berat ia lakukan. Ingin membujuk Denara pun rasanya sudah tak ada muka. Ia bukan siapa-siapa dan lagi ia juga sadar sudah mengingkari ucapannya.

"Vindra akan kecewa melihat ibunya diperlakukan seperti ini," ucap Ratna yang justru membuat suasana semakin panas. Padahal wanita itu hanya bermaksud mengingatkan agar ia bisa diterima seperti dulu.

AkalankaWhere stories live. Discover now