Al sampai di rumah dengan wajah lesu. Al berjalan sempoyongan memasuki rumah. Al bingung. Al pusing. Al menyesal. Al ingin bertemu dengan Varsha. Al ingin meminta maaf pada Varsha. Al ingin menjelaskan semuanya. Al ingin memperbaiki hubungannya dengan Varsha.
“Abang Al!”
Al menoleh pada Khanza yang sedang bermain dengan ditemani El. Khanza berlari mendekati Al, Al berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Khanza.
“Abang Al, Kak Valsha kok nggak ke sini? Padahal kemalin Kak Valsha bilang mau ke sini sama Khanza,” lapor Khanza pada Al.
Al menghela napas pelan mengingat kejadian kemarin malam. Al mengusap lembur puncak kepala Khanza.
“Kak Varsha kemarin bilang kalau dia minta maaf karena nggak bisa ketemu sama Khanza lagi.”
Wajah bersahabat Khanza memudar, keningnya berkerut.“Kenapa? Khanza salah apa sama Kak Valsha? Kenapa Kak Valsha nggak mau ketemu Khanza lagi?”
Al terdiam. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan Khanza.
“Abang Al ya yang udah buat Kak Valsha nggak mau ketemu lagi sama Khanza? Kok Kak Al gitu sih? Kak Al jangan jahat sama Kak Valsha. Khanza sayang sama Kak Valsha.”
“Khanza, bukan gitu…”
“Telus apa? Pokoknya Khanza sebel sama Abang Al! Khanza malah sama Abang Al!”
Khanza mengerucutkan bibirnya kesal, lalu berlari meninggalkan Al dan El.
“Khanza,” panggil Al yang tidak ditanggapi oleh Khanza. Anak kecil itu berlari menaiki tangga meninggalkan Al. Khanza merajuk.
El menghembuskan napasnya pelan, lalu berjalan mendekati Al.
“Gue nggak nyangka lo sebangsat ini, Al. Dari dulu gue pikir lo cowok baik-baik, ternyata enggak.”
“Mending lo diem, El.”
Kepala Al sudah pusing. Semua orang memojokkan dirinya, menyalahkan dirinya. Al tahu Al salah dan Al menyesal. Tidak perlu lagi terus menerus dipojokkan seperti ini.
“Lo yang harusnya diem, Al! Lo mikir kek perasaannya Varsha kayak gimana. Selama ini gue diem karena gue nggak mau ikut campur urusan kalian. Tapi makin lama lo makin keterlaluan. Cowok itu harus punya prinsip, jangan cuma bisa ngikutin arah angin.”
“Cewek bukan mainan yang bisa lo milikin bareng-bareng. Mereka punya hati. Tanya sama hati lo! Siapa yang ada di hati lo! Lo harus pilih Varsha, Amara, atau Shania! Pilih salah satu, jangan semuanya! Jangan buat mereka semua menderita karena keegoisan lo!”***
Varsha menoleh ke samping, sinar matahari mulai menyinari tubuhnya yang masih berada di samping jendela tanpa berpindah sedikit pun. Semalaman, Varsha berteman dengan kegelapan dan kekosongan, sekarang kegelapan itu telah sirna, tapi hati Varsha masih kosong. Sudah tidak ada lagi apapun di dalamnya.
Varsha mendongak ke atas, memejamkan matanya erat, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya pelan. Berulang kali Varsha melakukan itu, tapi tidak dapat mengurangi rasa sesak dalam dadanya.
Varsha melirik ponsel yang ada di samping tubuhnya. Dengan ragu, Varsha mengambilnya. Varsha menghidupkan ponsel itu, lalu menghubungi Rangga.
“Akhirnya lo hubungin gue juga, Sha,” ucap Rangga dari sambungan telepon.
“Rangga, gue kayaknya mau pergi aja.”
“Kemana?”
“Ke tempat di mana mungkin gue bisa bahagia. Tempat di mana gue bisa lupain semua rasa sakit ini.”
”Lo yakin mau pergi sendirian, Sha?”
“Selama ini gue juga sendiri, Ngga. Dan gue baik-baik aja.”
“Apa perlu gue anter?”
“Enggak usah. Gue bisa pergi sendiri.”
“Beneran?”
“Iya. Lo pasti punya urusan lain yang lebih penting dari gue. gue nggak mau ngerepotin lo lagi. Gue udah sering ngerepotin lo.”
“Gue enggak pernah ngerasa direpotin, Sha. Lo kan temen gue.”
“Makasih ya, Ngga, buat semuanya.”
“Santai aja kayak sama siapa.”
“Gue bahagia pernah kenal sama lo, Ngga.”
Varsha menutup sambungan teleponnya dengan Rangga. Dia memejamkan mata, lalu menghela napas berat.
Saat sedang menikmati keheningan yang melingkupinya, ponsel Varsha berdering. Ada nama Al yang tertulis di sana. Varsha ragu akan mengangkat telepon Al atau tidak. Tapi, setelah berpikir sejenak, Varsha memutuskan untuk mengangkatnya. Setidaknya, Varsha butuh kepastian hubungannya dengan Al sebelum Varsha pergi.
“Sha, gue minta maaf,” ucap Al dari seberang sana. Nada suaranya terdengar lirih dan berat.
Varsha sendiri masih diam. Dia menunggu Al melanjutkan ucapannya.
“Gue bener-bener nyesel, Sha. Gue pengin ketemu sama lo, Sha. Sebentar aja. Kasih gue kesempatan buat jelasin semuanya. Sebentar aja, Sha. Setelah itu, semuanya terserah lo.”
“Shareloc,” ucap Varsha pelan.
“Makasih, Sha, udah mau kasih gue kesempatan. Sekarang juga kita ketemu ya.”
Varsha memutus sambungan telepon itu, lalu segera berdiri dengan tubuh lemah sampai Varsha harus berpegangan pada dinding kamarnya.
Dengan langkah pelan, Varsha menuju ke kamar mandi. Varsha harus mandi atau orang yang melihatnya akan takut dengan penampilannya. Pucat pasi dan berantakan.***
Di tempat lain, Al tersenyum senang. Hatinya merasa sedikit lebih lega setelah khawatir menunggu jawaban dari Varsha tadi. Apalagi dengan Varsha yang mau memberinya kesempatan kedua.
Di belakang Al, Shania menatap Al tidak suka. Dia menyesali kenapa Al masih mau bertemu dengan Varsha. Iya, Shania mendengar semuanya.
***
Varsha turun dari taksi online yang membawanya ke tempat yang Al kirimkan yaitu di tepi sebuah danau. Varsha memejamkan mata, menarik napas, lalu menghembuskannya pelan. Varsha melakukan itu berkali-kali untuk meyakinkan hati, untuk menguatkan hatinya.
Setelah merasa sedikit lebih tenang dan yakin akan menemui Al, Varsha melangkah pelan menyusuri tepi danau sambil mengamati sekitar untuk mencari Al. Suasana danau sedang sepi sore ini karena langit mendung menyelimuti langit. Gelap sekali. Sepertinya sebentar lagi akan ada hujan deras.
Setelah beberapa saat mencari Al, langkah kaki Varsha terhenti. Dia berdiri di balik sebuah pohon dengan sorot mata tertuju pada Al yang berdiri beberapa meter di depannya.
Tubuh Varsha melemah, kakinya bahkan tidak sanggup untuk menopang tubuhnya lagi sampai Varsha harus berpegangan pada pohon di sebelahnya. Sebelah tangan Varsha beralih memegang dadanya yang terasa sakit dan sesak sampai Varsha kesulitan untuk bernapas.
Sakit.
Terlalu sakit sampai Varsha tidak bisa merasakan rasa sakit itu lagi.
Sebulir air mata Varsha menetes, lalu jatuh ke rerumputan.
Ini penjelasan yang Al berikan untuk Varsha.
Perlahan, tangan Varsha mengepal kuat. Matanya berubah merah dengan sorot mata penuh kekecewaan dan kebencian.
Al sedang berciuman dengan Shania.
Catat! AL BERCIUMAN DENGAN SHANIA!
Iya, CIUMAN! BIBIR SAMA BIBIR!
***Yang mau ngumpatin Al sama Shania silakan
Next ending ya
See u
KAMU SEDANG MEMBACA
Alvarsha
FantasySetelah kedatangan Varsha Callista Valencia, Alfarellza Keandre Asvathama harus terjebak dengan gadis cantik yang terus mengejar dirinya tanpa malu tapi sialnya gadis itu justru selalu membuat hatinya menghangat. Tapi Al tetaplah Al. Bagi dirinya...