5. Jalan-jalan

1.5K 95 0
                                    

___

___

___

Aku masih mematut diriku di cermin ketika kudengar pintu kamarku digedor dari luar.

"Masuk aja, pakek di gedor segala." Biasanya selain jam tidur atau belajar, kamar ku bebas keluar masuk siapa saja. Makanya aku agak sewot ketika pintu di gedor-gedor. Palingan itu adalah adikku, Raka yang iseng pagi-pagi mau mengajak main.

"Udahanlah dandannya. Udah cakep kok dek." Sontak aku menoleh ke samping memastikan suara berat dan lembut yang kudengar. Suara bang Rama.

"Eh Abang, kirain tadi Raka yang gedor pintu." Wajar aku heran, soalnya ini pertama kali bang Rama masuk kamarku.

"Ibumu yang nyuruh masuk. Barang bawaan adek udah ready kan?"

"Udah. Tuh! " Tunjukku dengan dagu kearah kasur karena aku masih menyisir rambut. Bang Rama langsung menenteng ranselku hendak dibawanya.

"Eh, nggak usah bang. Biar aku aja yang bawa."

"Nggak apa, biar cepat. Anak-anak udah pada nunggu tuh. Cepetan gih!" Dia langsung berlalu keluar kamar menenteng ranselku.

"Iya." Jawabku cepat, memasang sepatu lalu ijin ke ibu yang berada di kedai. Ibu juga mengantar ke bang Rama yang sudah standby di motornya.

"Ingat, jangan nyusahin. Nurut sama bang Rama!" titah ibuku. Ini sudah yang kesekian kali di ucapkan ibu semenjak terencananya untuk bepergian. Aku hanya mengangguk saja walau sudah bosan juga sih mendengar kalimat yang sama.

Namun aku memaklumi perilaku ibuku seperti itu, karena memang aku tidak pernah pergi jauh dan lama dari rumah. Palingan nginap semalam dirumah Dodo. Itupun ketika bapakku masih ada. Sepeninggal bapak, aku tidak pernah bertandang lagi.

"Nak Rama, jagain Dio ya. Kalo bandel marahin aja."

"Iya Bu" jawab bang Rama.

Jangan salah sangka mendengar bang Rama memanggil ibuku dengan sebutan ibu atau Bu. Karena memang itulah panggilan ibuku oleh masyarakat di sekitar sini ataupun pelanggan yang datang berbelanja.

"Dio berangkat Bu"

"Iya, hati-hati dijalan nak Rama." Aku yang pamit, ibuku malah membalas ke bang Rama. Huh! Sudahlah.

Kami berangkat ber-enam orang dengan tiga motor. Yang kesemuanya adalah sahabat atau konco-konco seangkatan bang Rama, yang otomatis dalam kumpulan ini akulah yang paling kecil atau termuda diantara mereka.

Kata orang, tidak enaknya ngumpul bareng orang yang lebih dewasa dari kita adalah seringnya yang termuda ditindas atau disuruh-suruh, sistem hirarki gitu. Tapi itu tidak berlaku padaku. Aku malah seperti dilayani walau kebanyakan dari bang Rama sih. Hehe.

Dalam urutan konvoi kami, bang Rama memilih urutan belakang. Dan jalannya pelan sekali kurasa. Kadang teman didepan sudah tak tampak olehku saking pelannya.

Ketika aku mencoba bertanya, dia cuma jawab tidak usah buru-buru dan nikmati aja perjalanan kita. Katanya membuatku bungkam.

Ya sudah, aku cuek saja dan senderan di punggungnya sambil melingkarkan tanganku diperutnya. Ah nyamannya!

Kurasakan laju kendaraan semakin pelan, menepi lalu berhenti. Ternyata bang Rama mengajak istirahat dulu dan bersantai di bangku kedai pinggiran jalan.

Bang Rama memesan minuman kaleng dan jagung rebus. Sedang aku hanya duduk menikmati semilir angin sejuk dipuncak bukit dan disuguhi pemandangan indah dibawahnya. Yaitu kota besar tempat tujuan kami dengan latar laut lepas setelahnya dan di hiasi pulau-pulau kecil.

Merayu Dan Memuja (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang