limerence, one

989 93 7
                                    

Hari Senin adalah hari yang paling Eric benci seumur hidupnya. Hari di mana ia akan beraktivitas seperti biasa lagi. Tak apa bagi murid lain yang di sekolah merasa bahagia bertemu dengan teman-temannya. Namun berbeda untuk Eric yang tak punya teman sama sekali.

Kemanapun Eric pergi, ia selalu sendirian. Eric sudah mencoba terbuka kepada orang lain, namun tetap saja tak ada yang mau berteman dengannya.

“Eric itu miskin.”

“Orang tua Eric cerai, Ibunya meninggal satu tahun lalu. Kalau Ayahnya mabuk-mabukan. Trus Ayahnya dulu punya utang banyak, makanya sekarang hak milik rumahnya disita bank.”

“Jangan ditemenin, takut sialnya nular.”

Bisikan-bisikan itu sudah biasa Eric dengar setiap hari. Terdengar menyakitkan namun mau bagaimana lagi— itu kenyataannya.

Eric ditahun 2018 adalah anak tunggal laki-laki yang hidupnya bergelimang harta dan mempunyai keluarga harmonis. Namun ditahun 2020 ketika masalah besar itu melanda, sebelum Eric kehilangan semua keluarganya dan kebahagiaannya.

Hidupnya hancur dalam sekejap mata.

Sang Mama telah berpulang akibat kanker otak yang telah menggerogoti tubuhnya sejak lama. Dulu bisa saja disembuhkan saat awal-awal diagnosa, namun keluarga Eric sudah tak punya biaya untuk membayarnya akibat sang Papa yang selalu menggunakan semua hartanya untuk foya-foya.

Eric saat itu masih duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama, bingung harus melakukan apa. Sebelum Papa memutuskan untuk bercerai sebab tak suka istrinya berpenyakitan. Menumpuk hutang atas nama sang Mama, hingga Mama menghembuskan napas untuk terakhir kalinya— Eric jelas tak bisa membayarnya, berakhir rumah tempat ia pulang, tempat ia berteduh, tempat di mana semua kenangan masa kecilnya tersimpan di sana— hilang, diambil paksa selamanya.

Eric tak mampu berbuat apa-apa selain menangis. Mama-nya sudah pergi, lalu kemana ia harus kembali?

Beruntung saat itu ada tetangga yang menawarkan tempat tinggal— Ju Haknyeon, teman dekat Eric— berkata bahwa kakak kelasnya menyewa apartemen dan butuh teman. Maka dari itu Haknyeon menawarkan Eric untuk tinggal bersama Hyunjae sementara waktu.

Awalnya Eric menolak karena takut merepotkan dan ia juga sudah tak punya uang lebih, namun lewat Haknyeon— Hyunjae menitipkan pesan bahwa tak apa Eric tinggal, yang penting Eric nyaman dan Hyunjae dapat teman.

Dari situlah Eric masih bisa bersekolah sampai sekarang. Kedua orang tua Hyunjae yang paham akan kondisi Eric dengan ikhlas membayar uang sekolah Eric sampai lulus. Bahkan berniat untuk memberinya uang sampai Eric kuliah nanti.

Tentu saja Eric menolak. Kuliah nanti akan ia usahakan untuk mencari beasiswa. Ia sudah banyak merepotkan keluarga Hyunjae untuk biaya hidupnya. Tak ingin merepotkan lagi, Eric ingin mandiri.

Diam-diam bekerja paruh waktu dihari Sabtu dan Minggu, Eric mendapatkan bayaran yang lumayan untuk kebutuhannya sehari-hari. Tak lupa ia sisihkan sebagian uangnya untuk ditabung kemudian hari.

Dan hari ini ketika Eric masuk kelas disambut dengan ketidakpedulian teman-temannya. Namun Eric tersenyum tipis. Hari beratnya sudah dimulai, dan Eric sudah bersiap dengan semua kemungkinan buruk yang terjadi.

Sebenarnya perlakuan murid lain padanya tak hanya sebatas menghina. Eric pernah disiram minuman berkali-kali saat di kantin. Tak hanya itu, Eric juga pernah dipukuli, dikunci di gudang sekolah, bahkan meja dan loker Eric dipenuhi coret-coretan berisi kata-kata kasar yang tentu saja sangat menyakiti hati Eric.

“Anak miskin mati aja.”

“Bisa-bisanya anak miskin sekolah di sini? Ngaca dong!”

“Udah miskin, gak punya orang tua lagi ups!”

Eric menghembuskan napas berat, mengusap mejanya yang sudah kotor padahal ia baru saja mendudukkan diri. Namun Eric berusaha tak peduli, mengambil buku pelajarannya dari dalam tas lalu membacanya. Sehabis ini ada pelajaran Fisika, dan ia harus banyak belajar berlatih soal untuk itu. Bagaimanapun nilainya tak boleh mengecewakan.

Bel pertanda masuk berbunyi, tak lama sebelum murid-murid berhamburan duduk rapi— seorang guru laki-laki masuk bersama anak laki-laki asing yang Eric tak tahu namanya.

“Liat deh ganteng banget!”

“Wah, murid baru??”

“Dia pasti bakal famous habis ini!”

Eric mengernyit bingung lantas menatap siswa asing yang berdiri disamping guru tersebut. Sekilas tatapan mereka bertemu, sebelum si murid baru mengalihkan pandangannya acuh tak acuh.

Sombong banget?, batin Eric dengan hawa sudah tak enak disekitarnya. Alarm peringatan sudah berbunyi, firasat Eric mengatakan bahwa orang yang memusuhinya akan bertambah satu hari ini.

“Halo, nama gue Kim Sunwoo. Kalian bisa manggil gue Sunwoo.”

Eric menghela napas, tak memedulikan perkenalan murid baru didepan kelas— ia lanjut memfokuskan pandangan ke arah bukunya yang sudah dipenuhi coretan rumus dan angka.

“Sekarang Sunwoo bisa milih tempat duduk. Ada satu bangku kosong di pojok kelas atau kamu pilih disebelah—”

Eric sekilas melirik bangku disampingnya. Kosong.

“—Eric Sohn.”

Gawat!

Eric menelan ludahnya susah payah. Jelas Sunwoo pasti akan memilih duduk sendirian di pojok kelas dibandingkan duduk disebelahnya.

Namun tak disangka-sangka, ketika Eric sibuk mencoret-coret dikertasnya, pemuda bermarga Kim itu dengan santainya duduk disebelah Sohn— membuat pemuda kelahiran bulan Desember itu mengernyit bingung.

Apa yang baru saja terjadi?

“Baik, anak-anak, sesuai jadwal hari ini mapel Fisika. Silahkan perhatikan saya menjelaskan materi,” ucap Pak Seungwoo sembari menuliskan rumus-rumus di papan tulis.

Eric sendiri memutuskan tak peduli, jantungnya berdegup kencang entah kenapa. Mungkin efek ia tak pernah mendapati seseorang duduk dibangku sebelahnya membuat dirinya begitu gugup. Dan sialnya Kim itu terang-terangan menatapnya!

Benar-benar Eric tak bisa berkonsentrasi, bahkan saat Pak Seungwoo menjelaskan materi— yang Eric pahami hanya sebagian kecil saja. Hingga diberi latihan soal untuk mengukur kemampuan siswa, Sohn itu dengan segala kebingungannya terpaksa mengerjakan.

Eric mengusap wajahnya, menghembuskan napas berat, siap menghitung dengan bolpoin ditangannya. Namun sialnya tintanya tak mau keluar. Dugaannya tintanya tersendat, namun saat dicek—

Yah, habis.., batin Eric lesu.

Pemuda manis bermarga Sohn itu menatap sekelilingnya. Teman-temannya sudah fokus mengerjakan, tak terkecuali si murid baru yang tadi menatapnya.

Eric sudah patah semangat, menunduk dengan bibir tertekuk sedih. Bagaimana ia akan mengerjakan soalnya?

Baru saja Eric ingin menghembuskan napas berat, tiba-tiba bolpoin disodorkan— diletakkan diatas meja dengan tinta penuh. Eric yang bingung lantas menoleh ke murid baru ‘Kim’, dan pemuda itu berbicara tanpa suara,

“Pakai aja.”

limerence, sunricWhere stories live. Discover now