limerence, four

489 86 6
                                    

Eric meniup poninya bosan. Menatap ponsel yang masih memunculkan notifikasi pesan dari Hyunjae perihal Eric meminta ijin menginap di rumah temannya. Ya, Eric berbohong. Tapi ini demi Sohn itu tak mau merepotkan Hyunjae lagi.

Kini sudah jam 9 pagi namun Sunwoo tak kunjung datang padahal hari ini hari Minggu.

Ah, memangnya siapa Eric harus diperhatikan Sunwoo setiap waktu?

Eric rasanya tidak tahu diri. Sudah merepotkan Sunwoo, kini malah berharap Sunwoo selalu ada disampingnya. Pemuda Kim itu pasti juga punya kesibukan lain.

Menghela napas berat, Eric mencoba bangkit dengan menumpu badannya pada siku. Meraih kursi roda, pelan Eric duduk berpindah di sana. Mungkin dengan keluar menghirup udara segar dan melihat pemandangan taman rumah sakit, bosan Eric akan hilang.

Pintu kamar dibuka sebelum ditutup kembali, Eric menggerakkan kursi rodanya sendiri. Menatap ke sekeliling, suasana rumah sakit lebih ramai dari biasanya. Dan, belum juga ada tanda-tanda Sunwoo datang.

Kayaknya Sunwoo beneran sibuk, batin Eric kecewa.

Padahal Eric ingin sekali mengajak Sunwoo bermain. Tapi setidaknya, Eric sudah senang jika Sunwoo mau peduli padanya dan jadi temannya.

Memperhatikan kupu-kupu beterbangan di sekeliling bunga yang mengitari taman, Eric menghela napas pelan.

Teman, ya?

Kalau diingat-ingat, seumur hidup Eric belum pernah punya teman. Yang ia ingat kala dirinya masih kecil hanyalah teriakan hinaan, lontaran ejekan, cakaran, dan kekerasan. Walau keluarganya masih harmonis, namun setiap kali Eric bersekolah rasanya layak neraka.

Sekolah adalah tempat yang menyeramkan baginya.

Tempat di mana ia mendapat rasa sakit untuk pertama kali, sebelum keluarganya ikut menyakiti hatinya kini.

Padahal Eric merasa tak punya salah, ataupun pernah menyakiti temannya. Namun kenapa justru Sohn kecil tidak dapat keadilan?

Ketika Eric yang duduk dibangku Sekolah Dasar setiap harinya hanya dapat pukulan dan hinaan dari temannya sendiri— lalu di rumah jadi Eric yang baik hati. Ditanya oleh sang Mama,

“Eric, pipi kamu kenapa ada luka?”

Sohn kecil diam sejenak, sebelum sudut bibirnya terangkat dan tertawa kecil. “Hehe, tadi Eyik jatuh, Ma. Tapi ndak thakit kok.”

Lalu Mama Sohn ikut tertawa kecil, mengacak rambut anak semata wayangnya gemas. “Lain kali hati-hati yaa.”

“Thiap, Mah!”

Tersenyum kecil, Eric mengingat jelas masa-masanya bersama Mama. Banyak kenangan indah yang mereka ukir bersama, sebelum masalah itu datang. Keluarganya hancur dalam sekejap mata.

Yang dulu setiap sudut rumah dipenuhi tawa, sekarang hanyalah duka. Dan Eric sendirian.

Tak ada lagi sang Mama dan Papa.

Setiap kali mengingat kenangan masa kecilnya, entah kenapa Eric tak kuat menahan air matanya. Sedih ada, ia bernostalgia. Masa kecilnya yang pura-pura bahagia, namun dalamnya Eric terluka.

Dalam bentuk fisik, yang kini jadi batin.

“Kenapa nangis?”

Eric tersentak dari lamunannya. Mendongak, Sunwoo berdiri didepannya— menatapnya dengan raut wajah khawatir sebelum berjongkok sembari menghembuskan napas berat.

Sejak kapan Sunwoo berdiri di sana?

Kim mengulurkan tangannya, mengusap lembut air mata yang turun melewati pipi tirus Eric. Ia berujar pelan, “maaf baru datang.”

limerence, sunricDonde viven las historias. Descúbrelo ahora