limerence, six

430 78 10
                                    

Sunwoo tak habis pikir. Apa yang dilakukan Papanya hingga mengorbankan anaknya sendiri untuk perjodohan bisnis?

Apa takdir selalu sebercanda ini?

Dengan kurang ajarnya mempertemukannya dengan Eric, lalu menjadi penolong saat Sohn malang itu disakiti dan sialnya berakhir mengagumi paras manisnya Eric sebelum hari ini datang— hari terburuk yang pernah ada, pengumuman perjodohan sial dengan embel-embel bisnis.

Ah, Sunwoo muak.

Memangnya ia hidup dalam cerita? Yang terlibat perjodohan aneh lalu jatuh cinta kepada istrinya dan merelakan cinta pertamanya.

Sunwoo tidak mau.

Maka dengan sepakat ia akan berusaha membatalkan perjodohan dengan cara apapun. Tak peduli Papa yang selalu bersifat tegas pada anaknya— Sunwoo tidak terima tiba-tiba dijodohkan tanpa pemberitahuan.

Mana tanggal tunangan sudah ditentukan. Sunwoo rasanya sudah gila.

Meneguk minuman yang dibawanya dengan malas, menatap langit kamarnya yang remang-remang. Ponselnya berdering lagi begitu memunculkan notifikasi pesan, tidak sekalipun Sunwoo menggubrisnya.

Menikmati malam tanpa gangguan adalah keinginannya.

Brak!

Sunwoo tersentak. Menoleh ke arah pintu yang ternyata masih tertutup— suara bantingan itu berasal dari luar kamar. Entah apa yang sedang dilakukan oleh keluarganya, toh, juga Sunwoo tak peduli. Namun sekelebat bayangan yang muncul tiba-tiba bersamaan dengan suara yang tak asing terdengar dari luar kamar.

Sunwoo benci kala masa lalu kelamnya muncul dari keluarganya sendiri.

Meneguk minuman yang tersisa, sebisa mungkin Sunwoo tak mendengar suara yang selalu berhasil membuatnya kembali putus asa. Harapan yang tak kunjung didapatnya, kata siapa Sunwoo bahagia?

Mengusap wajahnya kasar, peluhnya sudah membasahi keningnya. Helaan napas berat seiring Sunwoo kelimpungan menahan berat badan, ia jatuhkan di sisi ranjang.

Ponselnya terus menyala seiring dengan pesan masuk, menyita perhatiannya karena nomor tak dikenal.

Sunwoo menggeram, lantas mematikan ponsel dengan wajah marah. Tanpa Sunwoo tanya siapa pengirimnya, namun dari kalimatnya Sunwoo tahu itu siapa— Yeonwoo.

Menanyakan kalimat yang buat Sunwoo muak; Lo bawa Eric kemana, anak baru?

-----

Sejak melihat Yeonwoo di rumah sakit entah dengan siapa, Eric jadi was-was untuk keluar. Bagaimanapun ia masih trauma untuk sekedar bertemu dan menyapa. Bahkan saat mengingat pergelangan kakinya diinjak tanpa rasa iba, ia menjadi ngilu membayangkannya.

Maka dengan keputusan terpaksa, bosan melanda yang akhirnya hanya bisa menonton televisi saja. Eric terkantuk-kantuk, melirik jam di dinding— jam sepuluh malam, dan Eric masih tak ada niat untuk tidur sama sekali.

Memilih untung merenung karena satu kalimat selalu menghantui.

“Gue benci punya saudara tiri kayak lo, Ric.”

Saudara tiri, ya?

Eric bahkan tak tahu sama sekali jika ia punya saudara— atau bahkan tiri? Karena setahunya ia adalah anak tunggal— yah, setahunya...

Ia juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di luar sana. Apa Yeonwoo benar-benar saudara tirinya? Atau hanya berpura-pura?

Tapi Eric akui kalau sejujurnya ia kecewa dengan diri sendiri. Kenapa dirinya selemah ini? Sekadar melawan Yeonwoo tak bisa? Bahkan hingga dibully sepuluh tahun lamanya?

Memakai topeng didepan keluarga agar terlihat baik-baik saja.

Saat diperlakukan seenaknya ia hanya bisa berpasrah, tanpa bisa melawan. Apa Eric nantinya akan bergantung terus pada Sunwoo Kim? Tidak kan?

Sunwoo itu sudah direpotkan, belum lagi urusan keluarga. Eric kan tak mau hanya menumpang agar bisa hidup nantinya.

Namun tiap kali Eric berusaha untuk jadi kuat, selalu Eric tahan batinnya yang berkata; kenapa aku selemah ini?

Sampai sekarang Eric tak tahu jawabannya.

-----

Keesokan harinya, bangun pagi Eric lakui sebelum beraktivitas sehari-hari. Bohong, Eric kan hanya duduk diranjang sampai malam hari.

Kalau mau keluar seperti biasa ya tidak bisa. Mau ke taman takut Yeonwoo datang. Tapi duduk di kursi lorong rumah sakit tidak masalah kan?

Memperhatikan sekeliling, Eric tersenyum saat tak sengaja bertatapan dengan anak kecil yang tingginya tak lebih dari pinggang Eric kini.

Anak laki-laki itu tak balas tersenyum namun dengan cepat mengalihkan pandangan dan berlari menuju sosok laki-laki dewasa diujung lorong, tertawa bersama sembari digendong, sebelum keduanya masuk ke dalam kamar inap membuat Eric tahan senyumannya.

Terakhir kali kapan Eric bisa merasakannya? Sekitar empat tahun atau lima tahun? Seusia anak kecil itu?

Bahkan Eric merasa dirinya sudah dewasa dan tentu punya tanggung jawab lebih besar sekarang. Sayang, keluarganya sudah tak sedia mendukung di sampingnya.

Mengayunkan kaki bosan, kini yang ia tunggu hanyalah kehadiran Sunwoo. Kemana Sunwoo pergi akhir-akhir ini?

Mengerucutkan bibir lucu, Eric menahan geli saat semburat merah muncul dipipinya. Kejadian beberapa waktu lalu kembali terngiang dikepala.

Padahal hanya duduk berdua, tapi kenapa rasanya manis sekali ya?

Mengulum bibir dengan menahan senyum, Eric bersandar di kursi roda, sebelum ia teralihkan dengan suara decitan dari samping kiri. Menoleh dengan rasa penasaran tinggi.

“Halo, kita ketemu lagi.”

haii,
long time no see~

btw, maap ya kalo ada typo ga sempet revisi soalnya ㅠㅠ

limerence, sunricWhere stories live. Discover now