23. Menuju Malam

43 14 3
                                    

Kedekatan yang terjadi di ruangan serba putih dan terlihat formal ini, sudah menjadi makanan setiap hari Sabtu bagi mereka yang memilih istirahat dalam urusan percintaan. Kadangkala mereka iri, kadang pula mereka merasa kesal dengan sepasang manusia yang mengumbar hal normal tapi terkesan romantis.

“Kita jadi kan ke Jajaka, Kak?” tanya Rinjani seraya menghampiri Lintang yang masih sibuk membereskan buku-buku tebal di sana.

“Jadi dong! Apa pun akan terjadi jika itu adalah tentangmu, Rin,” balas Lintang seraya menyapa hidung Rinjani dengan telunjuknya.

Lintang menggenggam tangan Rinjani erat-erat, tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang memilih mengobrol di lorong-lorong. Akhir-akhir ini kedekatan Rinjani dan Lintang selalu menjadi titik fokus mereka. Mungkin mereka masih terkejut, toh, biasanya Lintang sama Rinjani hanya sebatas teman yang saling sapa, tapi waktu mengubahnya dengan cepat menjadi saling sayang dan saling cinta.

Selama perjalanan, Rinjani memeluk tubuh Lintang. Sesekali Rinjani menidurkan kepalanya di punggung Lintang seraya tersenyum senang. Meskipun setitik gundah di palung terdalam dalam hati selalu saja menyergap secara tiba-tiba. Rinjani masih merasa menyesal, dan tidak sedikit ia meminta waktu agar terulang kembali untuk menarik kata-kata menyakitkan dari mulutnya. Kalian tahu, rinjani tidak akan terlihat indah jika tanpa langit.

Lintang dan Rinjani langsung menaiki tangga menuju rooftop Jajaka, mereka duduk di bangku paling sudut yang selalu menjadi tempat favoritnya. Rinjani menunggu, sementara Lintang memesan kopi dan dua potong roti bakar selai stroberi.

“Rinjani?”

Laki-laki yang sudah tidak asing lagi di mata Rinjani tiba-tiba duduk di hadapannya. Rinjani tersenyum dan sedikit menundukkan kepalanya, menghormati. “Eh, Bang Beni.”

“Lintangnya mana?” tanya Beni.

“Tuh, lagi pesen. Tumben enggak sama temen komunitas, Bang.” Rinjani membenahi rambut yang diterbangkan angin ke balik telinganya.

“Ini kan masih sore, Rin. Biasanya mereka datang nanti malam. Kalian juga jangan malam-malam, apalagi Senin besok ujian. Lintang juga setelah ujian sekolah, lanjut tes untuk beasiswa.” Mata Beni masih terus menelisik wajah Rinjani, menyingkronkan sesuatu yang mengendap di hatinya.

“Iya, Bang. Kita bentaran kok di sini,” balas Rinjani sedikit malu.

Lintang duduk sejenak di kursi depan bar sembari menunggu pelayan yang sibuk melayani pelanggan lain. Begitu pelayan di sini menghampiri, Lintang langsung menyebutkan pesanannya atas nama dirinya sendiri. Diujung ucapannya, Lintang tersenyum dan bangkit dari duduknya. Namun, apa yang Lintang lihat sekarang membuat kakinya membeku sebentar. Sedang apa Beni di kursinya? Apa dia akan merusak hidup setiap orang yang dekat dengannya, lagi? Cepat-cepat Lintang mendekati mereka.

“Bang Ben, tumben sesore ini datang ke sini? Biasanya kan malam?” ujar Lintang.

Beni mengerjap beberapa kali, mengakhiri penelitian terhadap wajah Rinjani. Setengah hatinya memang sangat yakin, jika perempuan ini adalah jawaban atas pertanyaan yang berselimut detakkan ketakutan terbias senyum pada setiap pertemuan dengannya.

“Emang kenapa kalo aku datang sore? Jajaka emang basecamp ketiga, setelah kossan dan ruang komunitas. Tenang aja kali, aku gak bakal ngerebut Rinjani dari kamu, kecuali Rinjani mutusin kamu terus pilih aku,” gurau Beni seraya tersenyum dengan diiringi kedipan singkat kepada Rinjani.

Rinjani hanya terkekeh, sementara Lintang mendorong tubuh Beni untuk menjauh dari mejanya. Ketika Beni mendekati orang-orang yang dekat dengannya, Lintang sudah tidak bisa berpikir jernih. Maka tak jarang setelah apa yang menimpa di masa lalu, Lintang berusaha untuk tidak mendekati atau memacari perempuan. Kalian tahu sendiri, untuk mendekati Rinjani saja Lintang membutuhkan waktu tiga bulan untuk berpikir dan menghancurkan segala pikiran negatif tentang kakaknya. Namun, setelah mendengar pengakuan Beni kemarin. Semuanya kembali hadir. Membebani pikirannya.

Kutunggu Kau PutusWhere stories live. Discover now