Bab 30

32 3 0
                                    

Zulfa menghela napas sekali lagi. Matanya masih terfokus pada laptop yang entah berapa bulan tak dia sentuh, beruntung benda itu masih menunjukkan kewarasannya meski ada beberapa tombol tuts yang tidak bisa muncul di layar. Tidak masalah toh Zulfa hanya ingin browsing saja.

Di mesin pencarian itu dia mencari situs yang menyediakan informasi lowongan pekerjaan. Zulfa memutuskan akan mencari kerja, kebutuhannya setiap hari keluar sedangkan tidak ada satu pun anggaran yang masuk. Kemarin saja Mamanya menjual tv, tabungannya juga mulai menipis. Biaya untuk sehari-hari dan juga biaya berobatnya yang rutin dua bulan sekali. Sekarang dia tidak bisa mengandalkan Papanya lagi karena Papanya sudah memilih bahagia dengan orang baru.

Kadang Zulfa berpikir, betapa menyedihkannya hidupnya. Sejak kecil mentalnya sudah diuji, dipaksa mengerti dengan semua yang dia lihat. Dia sudah melewatkan masa remaja yang katanya sedang indah-indahnya, dan setelah dewasa masa itu masih berlanjut hingga dia divonis gagal ginjal di usia yang menginjak dua puluh satu tahun.

Zulfa melirik telapak kakinya yang sedang selonjoran diatas kasur, terlihat sedikit pucat dan sedikit berisi. Dia meringis tipis, semakin ingin merutuki takdirnya yang belum kunjung menemui titik terang. Akhir-akhir ini Zulfa merasakan perubahan di tubuhnya, seperti kakinya yang menjadi sedikit berisi. Dia mencari tahu di internet jika itu hal yang wajar diidap oleh orang gagal ginjal.

Rasanya Zulfa ingin menyerah, sakit merasakan penyakit yang bersarang di tubuhnya ini. Tapi pikirannya tertuju pada Mamanya, dengan siapa lagi Mamanya kalau sampai dia benar-benar menyerah. Papanya sudah tidak peduli lagi. Tidak bisa diharapkan. Satu-satunya harapan hanyalah Mamanya dan Fardo, setidaknya mereka masih ada untuknya.

"Fa, makan dulu ya."

Zani tiba-tiba masuk kamar Zulfa dengan membawa nampan berisi makanan.

"Kenapa dibawain makanan, Ma? Aku bisa jalan kok," kata Zulfa sambil menggeser duduknya menjadi bersila.

"Nggak apa-apa. Makan dulu terus minum obat, ya." Zani mengambil piring dan bersiap menyuapkan pada Zulfa.

"Aku makan sendiri, Ma," tolak Zulfa, kemudian mengambil alih piring itu. Dia meringis pelan, lauknya bahkan masih sama seperti dua hari yang lalu.

"Kenapa, nggak enak makanannya? Mau Mama masakin apa?" Zani bertanya melihat perubahan raut Zulfa.

Zulfa menggeleng. "Enak kok Ma."

Zani tidak merespon lagi, dia tahu maksud putrinya itu.
"Maaf ya, Mama masakin kamu menu yang sama lagi."

Cepat-cepat Zulfa menggeleng. "Maaf Ma, gara-gara aku Mama jadi kesusahan." Suara Zikra seperti tercekat, dia tidak bisa lagi sekadar menelan air liur sendiri.

"Hush nggak boleh, kamu itu ngomong apa?" Buru-buru Zani meralat.

"Gara-gara aku sakit, Mama jadi kesusahan, buat makan aja harus..."

Zani langsung menarik Zulfa ke pelukannya. "Jangan pernah kamu ngomong gitu lagi atau Mama beneran marah sama kamu!"

"Tapi bener kan Ma, andai aku nggak sakit ginjal kita nggak bakal ngeluarin uang sebanyak ini hiks..."

Zani melepas pelukannya, lalu menggeleng. "Semua yang terjadi sama kamu itu sudah jalannya Allah, semua yang menimpa kita sekarang memang sudah digariskan. Kita jangan lemah ya, kamu harus tetap semangat."

Zikra hanya membalas dengan sesenggukan, makanan yang sejak tadi ada di pangkuan tidak lagi dia hiraukan. Sesak yang menggerogoti dadanya jauh lebih menyakitkan.

"Kamu yang tenang ya, kamu sabar, Mama aja yakin kalau kamu bisa sembuh masa kamu nggak?" Sekali lagi Zani menenangkan. Dia ikut terenyuh mendengar keluhan putrinya. Kalau bisa dia ingin menukar di posisi itu.

Besok dan Selamanya [ Selesai✔️ ]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt