2. Cinta Seorang Ayah

2.5K 443 40
                                    

Ayah tengah duduk santai di bangku kayu dekat kolam ikan, ia tersenyum lembut saat menyadari kedatanganku.

"Assalamualaikum, Ayah." Kucium punggung tangannya.

"Waalaikumsalam, duduklah Nak." Ayah menepuk-nepuk bagian bangku yang kosong. Tepat disampingnya.

Aku menurut. "Ikannya nambah lagi, Yah?" Kupandangi ikan-ikan yang mendiami kolam ikan ayah.

"Iya, nambah dua. Kemarin Suryo ngasih ayah ikan lagi." Ayah melemparkan segenggam makanan ikan ke dalam kolam, seketika para ikan berkerumun. Menyantap dengan semangat makanan yang telah Ayah berikan pada mereka.

"Om Suryo baik sekali, ia sering sekali ngasih Ayah ikan."

"Dia memang sangat baik, kalau tidak baik mana mau Ayah bersahabat dengannya," ucap Ayah sambil tertawa.

Tawa ayah menular padaku, aku ikut tertawa. Dan terus tertawa. Ayah terus-terusan menceritakan hal-hal lucu padaku.

"Sekarang giliranmu. Ceritakan cerita-cerita lucu pada Ayah. Apakah Nana masih suka ngompol di kelas? Apa Bagas masih memanggilmu Oma?" Tanya Ayah bertubi-tubi.

"Ayah," aku memeluk tangan kiri Ayah, kusandarkan kepalaku di bahunya. Cerita-cerita lucu Ayah telah berakhir. "Kenapa Ayah tidak menikah lagi setelah ibu meninggal?" Entah kenapa aku ingin kembali mengajukan pertanyaan itu pada Ayah. Padahal aku sudah tahu apa jawabannya karena dulu pernah mengajukan pertanyaan tersebut pada Ayah.

"Cinta sayang. Ayah sangat mencintai ibumu dan dirimu." Dan jawaban yang samalah yang terlontar dari mulut ayah.

Setetes air mata menerobos keluar dari pelupuk mataku. Ibu telah meninggal ketika usiaku lima tahun, Ayah membesarkanku seorang diri, ketika SMA bibi--adiknya Ayah pernah memperkenalkanku pada seorang perempuan yang seumur dengan Ayah, dia cantik, berpendidikan, dan tentunya baik. Aku dan bibi merencanakan untuk menjodohkan perempuan tersebut dengan Ayah namun Ayah menolak dengan tegas, meskipun aku berkata kalau aku butuh sosok seorang ibu.

"Maafkan ayah, Nak. Cinta ayah hanya untuk ibumu dan dirimu. Maafkan ayah juga yang belum mampu memberikan segalanya padamu. Ayah tidak mau menyakiti hati seorang perempuan karena ibu ayah, dirimu dan ibumu adalah perempuan juga kalau ayah menyakiti hati perempuan itu sama saja ayah telah menyakiti kalian. Pernikahan bagi ayah adalah sesuatu yang sangat sakral harus ada kerelaan hati dalam mengarunginya. Cinta tentu sangat diperlukan di dalamnya karena rasa kasih sayang tidak akan muncul bila tak ada cinta di dalamnya." Itulah yang Ayah katakan padaku kala itu.

Cinta Ayah pada Ibu sungguh teguh. Ayah tetap bertahan menjaga cintanya pada Ibu agar tetap murni tak tercampur pada cinta yang lain.

Aku ingin memiliki suami seperti Ayah. Dari awal hal itu juga yang ku utarakan kepada Mas Raikhan. Aku tak mau membagi cintaku pada siapapun dan Mas Raikhan menyanggupinya, namun apa yang kuinginkan sepertinya takkan mampu terwujud karena aku tak mampu memberikan keturunan kepada Mas Raikhan.

"Kenapa, Nak?" Sapuan lembut tangan Ayah di pucuk kepalaku menyandarkanku dari lamunanku yang menyakitkan. "Cerita pada Ayah. Jangan dipendam sendiri."

"Tidak ada apa-apa," kuhapus air mata yang telah membasahi pipiku.

"Tidak ada apa-apa kok nangis? Ayo cerita sama Ayah," pinta Ayah dengan ucapan yang lembut.

Aku tersenyum getir. "Benar Ayah tidak ada apa-apa."

Ayah membawa tubuhku ke dalam pelukannya. Dan tanpa dapat dicegah tangiskupun pecah. Aku menangis tersedu-sedu di dalam pelukan ayah.

Ya Allah... Haruskah aku menceritakan dukaku pada ayah?

***

Kutatap pantulan diriku dicermin. "Ya Allah buatlah aku selalu terlihat cantik di mata suamiku, hanya suamiku." Sebaris doa itulah yang selalu kuselipkan ketika aku mulai bersolek untuk menyambut suamiku yang hendak pulang dari tempat kerjanya.

Sebisa mungkin aku selalu ingin terlihat cantik di matanya. Hanya di matanya. Bukan di mata orang lain apalagi di mata laki-laki lain. Terkadang aku selalu merasa aneh saat melihat banyak foto wanita cantik bertebaran di sosial media, kenapa mereka mengumbar kecantikan mereka ke publik, apa suami mereka tidak merasa cemburu? Apa yang hendak mereka cari dan inginkan? Ketenaran?

Astagfirullah...kenapa pikiranku jadi melantur begini.

Sore ini aku memilih mengenakan gamis berwarna purple dengan aksen renda kecil menghiasi setiap pergelangan tangannya. Ini salah satu gamis favoritku dan menjadi favorit juga untuk Mas Raikhan. "Kamu sangat cantik kalau pakai gamis ini." Itulah yang selalu ia katakan saat aku memakai gamis ini.

Kulirik jam yang menggantung di dinding kamarku, sudah pukul lima. Sebentar lagi Mas Raikhan pasti pulang. Sebisa mungkin aku berusaha untuk membuang segala duka yang kini tengah melanda hatiku, aku tak ingin duka itu membelengguku. Aku akan selalu berusaha untuk bahagia, baik itu untuk diriku sendiri dan tentunya untuk orang-orang yang aku cintai.

Tak terasa waktu magrib pun telah tiba tapi Mas Raikhan tak kunjung pulang. Ini kali pertama Mas Raikhan telat sampai sebegini lamanya, kuraih ponselku yang kusimpan di atas meja.

Assalamualaikum sayang. Kenapa belum pulang?

Sebaris pesan itulah yang aku kirimkan. Dan pesan itu baru terbalas saat aku sudah melaksanakan salat magrib. Mas Raikhan membalasnya bukan pula dengan pesan tapi langsung menelponku.

"Maafkan aku sayang. Ibu masuk rumah sakit."

"Innalilahi, kenapa ibu Mas?" Kepanikan mulai menyergap ku. "Ibu nggak apa-apa kan?"

"Gula darahnya naik lagi. Alhamdulillah sekarang sudah ditangani dan keadaan Ibu sudah berangsur membaik tapi harus tetap dirawat."

"Bolehkah aku kesana Mas. Aku ingin melihat keadaan Ibu."

Mas Raikhan tidak langsung menjawab. Hal itu tentu membuatku bingung tak biasanya demikian, biasanya dia akan langsung mengiyakan, mengizinkan aku menemani Ibu di rumah sakit.

"Biar Mas saja yang menemani Ibu. Kamu istirahat saja di rumah."

"Tapi...." Aku tidak melanjutkan perkataanku saat aku mendengar ada suara perempuan yang tengah memanggil Mas Raikhan.

Siapa wanita itu?

"Nanti besok insyaallah Mas pulang, sekalian jemput kamu buat jenguk ibu."

Tak ada kata yang mampu ku ucapkan.

"Inara?"

"Oh i..iya Mas?"

"Nggak apa-apa kan kalau besok saja Mas jemputnya. Kamu istirahat saja yah di rumah."

"I..iya Mas nggak apa-apa. Salam buat Ibu. Semoga Ibu lekas sembuh. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Sambungan telepon pun berakhir, dan entah kenapa tiba-tiba tangisku luruh. Aku menangis tersedu-sedu.

Kenapa hatiku terasa begitu sakit? Padahal hanya suara perempuanlah yang tak sengaja aku dengar dari sambungan telepon kami, tidak lebih.

💍💍💍

Padalarang, 24 Rabiul Awal 1443H

Tenggelamnya Sang RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang