Hari Kelima

28 6 4
                                        

"Kalau tidak salah, sebelah sini kan." Samatoki menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Mencoba membuka kembali keping ingatan yang sudah ia kubur lama.

"Oh, benar ternyata." Ucapnya sembari tersenyum ketika ia melihat seorang bocah tengah berlari ke arah sebuah rumah di kejauhan sana.

"Setidaknya, aku ingin bertemu dengan Ibu. Walaupun ia tidak akan mengenali ku yang seperti ini." Lirihnya kemudian. Ditatapnya penuh harap bingkisan di tangan kanannya. Makanan kesukaan sang Ibu.

Dengan senyuman yang mengembang di bibirnya, Samatoki berjalan perlahan. Melihat bocah yang beberapa hari ini sudah mengusiknya itu membuatnya mengingat semuanya. Tentang deretan rumah yang sering ia lewati begitu pulang dari sekolah. Tentang jalanan yang kini begitu familiar di matanya.

PRANG!

"Hm?"

"Ya ampun, mereka bertengkar lagi."

"Saya merasa kasihan dengan Samatoki dan Nemu. Mereka masih sangat kecil untuk mengerti pertengkaran seperti ini."

"Aduh Bu, lebih baik kita tidak usah ikut campur. Nanti kita juga kena imbasnya."

"Benar juga ya."

Pembicaraan singkat Ibu-Ibu yang masuk di telinga Samatoki membuat pria itu panas.

'Kalau kasihan, cepat panggil polisi brengsek! Dasar tetangga nggak berguna!'

Samatoki berlari, memperpendek jarak antara dirinya dan masa lalunya. Tak perlu menerka. Ia ingat betul hal apa yang tengah terjadi di dalam rumah itu. Bahkan luka lama yang terkubur pun ikut bangkit ketika ia semakin dekat dengan rumahnya.

Samatoki memutari rumahnya, memanjat tembok yang menjulang tak terlalu tinggi. Hingga akhirnya ia bisa melihat dengan jelas mimpi buruknya semasa ia kecil.

Dari pintu geser yang terbuat dari kaca sebagai akses pintu samping, Samatoki melihat Nemu Kecil yang terduduk menahan isak sembari memegang pipi kirinya. Tak jauh dari sana ada Ibunya yang menangis memohon ampun. Hingga sepasang ruby miliknya menatap seorang bocah yang berusaha melepaskan diri dari cengkraman seorang pria.

"Dasar anak sialan! Berani sekali kau berkata seperti itu padaku hah!" Pukulan telak menghantam pipi kiri Samatoki Kecil.

"Hentikan! Aku mohon hentikan!"

"Kau diam saja!" Tamparan yang entah keberapa menadarat ke pipi sang wanita paruh baya.

"Ibu! Dasar brengsek! Berhenti memukul Ibuku!" Tangan kecil Samatoki meraih pemukul bisbol, mengacungkannya tinggi-tinggi, bersiap untuk memukulkannya pada pria paruh baya yang ada di depannya. Namun tak berhasil. Belum sempat diayunkan, tubuh kecil Samatoki sudah terpelanting dan menghantam meja.

"Ugh," darah segar yang berasal dari kepala bagian belakangnya mulai mengucur. Matanya kabur. Namun ia berusaha mati-matian menjaga kesadarannya.

"Samatoki!"

"Dasar anak sial! Berani-beraninya kau!" Tinju terangkat, mencoba sekali lagi memukul badan kecil Samatoki yang sudah luka sana sini.

"Hentikan! Aku mohon hentikan! Kalau ingin memukulnya, pukul aku saja! Aku mohon!" Tubuh kecil tak berdaya dipeluk erat. Air mata deras membanjiri kedua pipi putih sang wanita paru baya.

"Kau sama saja dengan anak-anakmu ini! Pembawa sial! Gara-gara kalian aku kehilangan semua yang ku miliki!" Pria paruh baya itu memungut pemukul bisbol yang terjatuh di dekatnya, dan dilemparkannya menghantam pintu samping tempat Samatoki mengintip. Sehingga kaca itupun pecah dan berserakan.

Suara memekakkan telinga itu seakan menjadi lagu pengiring di ruang berantakan bak kapal pecah. Perabotan rusak, vas bunga pecah dengan menghamburkan setiap isinya. Begitu pula bercak darah di beberapa tempat yang seakan menjadi saksi semengerikan apa pria yang tak layak disebut Ayah itu.

Dan, pria paruh baya itu pun pergi begitu puas melampiaskan amarahnya.

"Maafkan aku Samatoki. Maafkan Ibumu yang tak bisa berbuat apa-apa ini." Isak tangis kembali terdengar sarat akan kesedihan dan penyesalan.

"Kakak..." Nemu Kecil mendatangi keduanya, menahan isak tangis agar tidak keluar dari bibirnya. Meskipun air mata tetap jatuh membasahi kedua pipi putihnya.

"Maafkan Ibu, Nemu. Ibu tidak becus menjagamu, menjaga kakakmu. Maafkan Ibu sayang. Maaf," dieratkannya pelukan pada tubuh Samatoki dengan satu tangan. Sedangkan tangan lainnya meraih tangan kecil milik Nemu. Hingga akhirnya suara tangis Nemu pecah. Ia memeluk Ibunya sembari menangis meraung-raung.

Di luar ruangan itu, Samatoki Dewasa terduduk bersandar pada dinding. Umpatan bak doa dirapal dalam hati. Melihat kejadian pahit untuk yang kedua kali benar-benar membuat tembok pertahanannya runtuh. Wajah garang khas calon pimpinan yakuza hilang berganti wajah sedih yang selama ini ia sembunyikan.

Tangisan Nemu dan Ibunya sangat menyayat hati. Luka lama yang terkubur kembali menghantui.

"Bangsat!" Entah umpatan keberapa yang ia rapalkan hari ini. Tangannya mengepal kuat. Ingin rasanya ia memeluk erat dua orang yang begitu ia sayangi itu.

Namun apa daya. Ia yang kini sudah menjadi lebih kuat sekalipun tak bisa berbuat apa-apa. Ini bukan zamannya. Ia tak bisa berbuat seenaknya hanya karena terbawa emosi dan perasaan.

"Brengsek!" Padahal mereka ada disini, di dekatnya. Tapi tangan kekar miliknya tak bisa merengkuh keduanya.

"Kenapa Kau perlihatkan masa lalu yang seperti ini? Apa Kau ingin menunjukkan seberapa lemahnya diriku?"

Hatinya bersikeras untuk merangsek ke dalam ruangan. Atau pergi berlari dari tempatnya sekarang, menemui pria brengsek yang menghancurkan keluarganya, dan memberi pukulan bertubi-tubi padanya.

Tapi, kemauan hati hanyalah sebatas kemauan hati.

Tubuhnya tak bisa digerakkan.

Tubuhnya serasa terpaku di tempat.

Tak bisa kemana-mana.

Tak bisa merengkuh, atau bahkan minimal menenangkan dua orang yang begitu ia cintai itu.

Bahkan, ia juga tak bisa pergi untuk menjotos pria brengsek itu.

Seakan-akan, ia hanya dijadikan penonton bagi reka ulang masa lalunya, sedangkan mereka adalah lakon nya.

Ini bukan zamanmu. Jangan lakukan hal yang tak perlu. Atau kau akan mengubah seluruhnya.

Sebuah peringatan yang entah dari siapa berputar di kepalanya. Mengatakan hal yang sama berulang-ulang.

Sekali lagi. Aohitsugi Samatoki dihadapkan pada masa lalu yang kelam. Tawa dan energi positif yang ia terima beberapa hari lalu seakan hanya mimpi dan kebohongan belaka.

"Tuhan... jika Kau benar-benar ada, apa ini cara-Mu untuk mengatakan bahwa yakuza sekalipun tidak memiliki kekuatan untuk melawan takdir?"

7 DAYS 『完』Where stories live. Discover now