Mandala & Tia

13.6K 553 6
                                    

Tia

Mas Mandala tadi datang ke rumah. Mas Mandala adalah guru privat-ku, saat aku berada di bangku SMP. Saat itu, Mas Mandala masih berseragam SMA. Orangnya baik dan sopan, sekaligus tampan dan sangat sederhana. Dia juga seorang pekerja keras. Padahal dia orang yang cukup berada. Mas Mandala adalah salah seorang pria yang mampu menembus tembok yang aku buat untuk para pria. Awalnya aku memang cukup sulit menerima Mas Mandala. Tapi karena bujukan Bunda dan cara komunikasi Mas Mandala yang baik dan pantang menyerah. Aku lama-lama jadi betah sama Mas Mandala.

Aku selalu tertawa ketika dulu menggoda Mas Mandala. Aku sering kali bertanya pada Mas Mandala 'apa dia punya pacar', lalu aku menjawabnya sendiri, 'pasti punya dong'. Kemudian Mas Mandala tersenyum dan mencolek pipiku, lalu berkata, 'aku aja yang jadi pacarnya gimana?' Begitulah obrolan yang sangat kukenang, saat aku masih ada di Sekolah Menengah Pertama. Entah kenapa, rasanya memang aneh. Aku bisa akrab dan dekat dengan seorang pria. Mas Mandala adalah pria baik, itulah keyakinanku sampai bisa sejauh itu dengannya.

Kini Laki-laki itu, sudah tumbuh jauh lebih dewasa, dan kurasa, aku masih merasakan hal aneh itu kepada Mas Mandala. Padahal aku tidak pernah ingin dekat-dekat dengan laki-laki, tapi Mas Mandala berbeda. Dia membuatku nyaman di sisinya. Aku bahkan tidak pernah menyangka bahwa perasaan yang aneh ini akan aku rasakan karena aku sangat menentang perasaan lawan jenis. Tapi bukan berarti aku penyuka sejenis. Aku hanya sangat -atau kata teman-temanku sedikit keterlaluan -dalam memilih teman yang berbeda gender denganku. Bukan apa-apa, aku hanya takut semua kisah orang tuaku terulang padaku. Tapi aku yakin tidak terjadi pada Mas Mandala. Justru saat aku bertemu tadi, jantungku berdebar-debar tak biasa. Apakah itu yang disebut teman-temanku cinta. Mungkin sih. Tapi aku tidak ingin jatuh cinta.

Walaupun membayangkan laki-laki itu ada disampingku rasanya sangat luar biasa. Mataku yang seharusnya sudah mengantuk, sekarang justru tak bisa tidur. Terbayang wajah Mas Mandala dengan senyumnya tadi. Tapi malam telah larut, aku harus tidur, dan membiarkan cahaya bulan menyelimutiku, saat aku membayangkan Mas Mandala menemaniku tidur. Tidak! Stop. Aku terlalu berkhayal. Aku harus melepas Mas Mandala dan tidur sendiri.

***

Aku terbangun karena Bunda sudah meneriakiku untuk turun. Aku heran, biasanya hari minggu Bunda akan membangunkanku saat beliau telah pergi ke pasar. Maka aku, dengan wajah kusam khas bangun tidur, ditambah baju babydool yang longgar, dan jalan yang sedikit terseok datang ke ruang tamu, tempat dimana Bunda memanggilku. Betapa kagetnya aku ketika mendapati Mas Mandala disana. Dia tersenyum ke arahku memudian melambaikan tangannya.

"Pagi, Putri Tidur," sapanya membuatku tersipu malu karena masih bangun tidur, plus belum mandi, plus muka bantal ini. Tunggu, aku tidak belekan kan? Air liurku tidak ada yang membekas di sekitar mulutku kan?

"Mas Mandala kok disini lagi?" Tanyaku.

"Iya, mau ngajak kamu jalan-jalan, kayak janji Mas Mandala dulu, inget kan?" Katanya. Otakkku langsung bekerja mengingat suatu hal di masa lalu.

"Mas Mandala, kalo entar punya uang, beliin aku bubur ayam ya," kataku saat Mas Mandala menjemputku dari sekolah, selain guru privat, Mas Mandala memang sering dimintai Bunda pertolongan, maklum, tidak ada laki-laki di rumah. Mas mandala malah tertawa terbahak-bahak lalu berucap, "apa tidak ada yang lebih baik dari bubur ayam?" Dan jawabanku saat itu hanya berupa gelengan kepala. Saat itu Mas Mandala baru saja mendapatkan ijazah SMA-nya. Aku baru akan ujian semester genap kelas VII.

Aku tertawa geli mengingat 'dulu' yang sekarang jadi kisah yang sangat lucu.

"Mas udah ijin sama Bunda?" Tanyaku lagi.

"Udah, Tia sayang," Katanya, sontak membuat pipiku terasa hangat.

"Oke, aku mandi dulu ya Mas," jawabku lalu meninggalkannya duduk sendiri di ruang tamu. Entah kenapa jantungku kembali berdebar. Bergegas aku mandi, dan merapikan diri kemudian memakai bajuku yang modelnya sedikit feminim.

"Bunda aku pergi dulu ya sama Mas Mandala?" teriakku dari luar rumah padahal Bunda juga ada di dalam rumah. Aku berdiri didepan mobil Range Rover, yang kata Mas Mandala adalah mobil yang sederhana, parkir di halaman rumahku.

"Iya Tia. Mandala, hati-hati ya nyetirnya? Jagain Tia-nya," Kata Bunda menengok di pintu, melihatku masuk ke mobil itu.

"Siap komandan Tante," kata Mas Mandala menirukan gaya hormat para komandan.

Di jalan, Mas Mandala selalu mengeluarkan guyonan yang mengocok perut, sampai-sampai tidak terasa kita telah sampai ke salah satu tempat penjual bubur ayam yang terkenal enak.

Saat kita berdua asik makan, tiba-tiba ada seorang laki-laki mendekat.

"Tia, kesini sama siapa?" Tanya laki-laki itu sok akrab. Dari nada bicaranya, aku tahu itu suara seorang yang kukenal.

"Ehm," Mas Mandala berdehem keras. Menandakan orang yang ditanyakan ada di hadapanku.

"Eh, elu ya? Siapa sih nama lu, Manhattan, apa siapa ya?" sahut Naufal.

"Mandala, Naufal Handoko," Mas Mandala berkata pada Naufal. Aku jadi bingung, apakah sebenarnya mereka berdua ini sudah saling kenal, tapi kenapa tidak terlihat akrab satu sama lain.

Aku pun memutuskan untuk tidak peduli dan makan bubur ayam kesukaanku lagi. Tidak berguna mengurusi laki-laki yang sudah terpancing emosi.

The Doctor [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang