2

134K 1.4K 35
                                    

Suara ketukan beberapa kali terdengar nyaring dari dalam kamar Lody. Tetapi sang empunya kamar tak ingin beranjak dari tempat tidurnya.

"Tidak ingin bicara?" suara Don terdengar setelah suara ketukan berhenti.

"Mau...tapi buka pintunya sendiri" sahut Lody dari dalam.

Don membuka pintunya, ia merasa dibodohi oleh situasi. Pintu itu tidak terkunci sedari tadi dan ia berdiri seperti badut lelucon mengetuk pintu.

Melelahkan? Tidak juga.

Don tersenyum melihat ke arah tempat tidur. Di sana, perempuan kecil itu, duduk dengan kaki rampingnya di kanan dan kiri, rambutnya terkuncir rapi ekor kuda dan tanpa busana.

"No no...Daddy jangan kesini, duduk saja disitu" jemari kecilnya menunjuk sebuah kursi berlapis suede yang terletak tepat di depan tempat tidur.

"Masih marah?" Don mencoba menahan dirinya untuk tidak melakukan apapun, sang singa bisa saja mengamuk lebih dari yang dibayangkan.

"Hm!" Lody mengangguk tegas.

Ia merebahkan tubuhnya lalu meluruskan kakinya.

Don mulai memijat pelipisnya.

"Lody cuma ingin nonton Daddy, tapi Daddy melarang tanpa ada alasan..." Lody menekuk kedua kakinya lalu membukanya.

Jemari kecilnya mulai mengusap-usap miliknya, kedua jemarinya mengusap naik dan turun lalu dibuka membentuk huruf 'V' yang sekaligus membuka miliknya menjadi lebih lebar. Jemari kecilnya terlihat mengusap naik dan turun, berputar di sekitar klitorisnya lalu menekannya dalam-dalam.

"Daddy disana jangan coba-coba kesini..."

Don hanya terdiam, ia tahu bahwa ia sedang dihukum. Lidahnya mulai kelu membayangkan lidahnya lah yang disana menggantikan jemari kecil itu.

"Nngghhh..." Lody mulai bersuara, pelan tapi tidak untuk Don. Seperti jerat diantara kakinya, ia harus tetap disana.

"Nnnggghhhh..." lenguhan itu semakin panjang saat Lody berhasil meloloskan dua jemarinya masuk ke dalam miliknya. Ia mengeruk miliknya dari dalam, menariknya keluar, memasukkannya kembali begitu seterusnya.

Lenguhan-lenguhan terus terdengar, Don ingin menindihnya, memasukan miliknya pada liang kecil dan sempit itu lalu menusuknya dengan cepat tapi hukuman tetap hukuman.

Lody terus mengejar puncaknya, ia berguling ke kanan dan ke kiri. Memasukan sex toys miliknya bergantian. Lody berteriak terkadang menarik kain sprei begitu kencang, ia belum sampai pada puncaknya.

Lama, hingga Don merasa frustasi. Ia tak bisa menahan miliknya yang mengeras dan berdenyut. Sakit, panas dan jika dibiarkan terlalu lama ia bisa gila.

"D-Daaddyy..."

Suara itu disambut Don dengan cepat, ia melucuti dirinya sendiri lalu menepis jemari Lody yang basah dan menggantikannya dengan miliknya.

Don memeluk tubuh mungil itu, merengkuhnya selembut mungkin. Telinganya begitu dimanjakan dengan lenguhan terkadang rintihan jika ia menghujam miliknya terlalu dalam.

Seperti kuda pacuan, tidak Don tidak juga Lody mereka berkejaran mencapai puncak.

"Aah...Daddyyy....aaahh..." lenguhan Lody disusul dengan dinding itu semakin menyempit ia tahu Don akan mencapai puncak tidak berapa lama lagi.

Don mencengkram lengan Lody sambil terus memompa sekuatnya, mata malaikat kecilnya yang begitu polos terus menatapnya meminta lebih dan lebih.

"Arrgghhhhh..."

Kaitan kaki si kecil di pinggang Don merenggang, hangat menjalar dari seluruh tubuhnya, ia mendesis kecil mungkin sedikit perih.

"Sakit?" ucap Don sembari menyeka keringat di dahi malaikatnya.

Lody hanya menggeleng, ia tak pernah bisa bicara sehabis mengantarkan Don pada puncaknya.

Don melepas penyatuan tubuhnya dengan malaikat kecilnya. Mencari handuk lalu membersihkan tubuh malaikatnya.

"Daaaddyyyy..." suara tangisan itu pecah kembali.

Don tahu seperti apapun Lody marah padanya, menghukumnya, menolaknya dalam hati kecilnya ia sedang ketakutan.

"Tidak apa-apa...Daddy tidak marah, besok Daddy temani ke bioskop hm?"

Malaikatnya mengangguk, memeluknya seperti koala memeluk batang pohon. Don mengusapnya perlahan, ia tahu semuanya menjadi begitu sensitif sesaat setelah hubungan badan berlangsung.

Don akan menepuk-nepuk punggung Lody sampai ia terkantuk-kantuk, menguap seperti kudanil di lumpur, lemas seperti tumisan kangkung.

Don membaringkan tubuh Lody tepat disampingnya, memeluknya erat, mencium setiap inchi kulitnya sedangkan Lody tertidur bersembunyi di balik dadanya.

Jika bisa memilih, mungkin Don akan pergi mengejar perempuan lain. Perempuan yang mungkin lebih menarik dibandingkan Lody yang seperti bayi baginya, tetapi nyatanya tidak ia lebih nyaman dengan bayinya, malaikatnya.

"Daddy apa domba bisa berenang?" gumam Lody ditengah matanya yang terpejam.

"I love you sayang..." ucap Don kemudian ditutup dengan kecupan lembut pada bibir malaikat kecilnya.

Our SideWhere stories live. Discover now