08. THANK YOU, JHONNY

1.9K 200 13
                                    














Wangi setelah hujan emang paling candu bagi Jessie. Jessie tidak tahu kalo Jhonny bakal membawanya ke rumah pohon ini, lokasinya di puncak sekitar daerah Bogor jauh dari ramainya hiruk-pikuk perkotaan. Ada beberapa rumah juga disana, tapi entah kenapa suasananya sangat sepi bahkan seperti tidak ada penghuninya.

"Gimana suka nggak di atas sana?" teriak Jhonny dari bawah pohon. Rumah pohon itu memang berukuran kecil, mungkin hanya muat dua orang dewasa.

Jessie mengangguk dan tersenyum antusias, "gue suka." katanya sambil merebahkan tubuhnya di atas karpet bulu yang memang sengaja Jhonny beli di pinggir jalan tadi.

Jhonny yang ingin menaiki rumah pohon tersebut berhenti saat Jessie berteriak heboh, "HEH LO JANGAN NAIK JON, KALO RUMAH INI ROBOH KAN NGGAK LUCU." katanya panik sedangkan Jhonny malah terkekeh dan melanjutkan naik ke atas rumah pohon tersebut.

Jhonny duduk di samping Jessie, "tenang Jes, Papa gue yang buat jadi aman." Jessie melotot tidak mengerti apa maksud perkataan Jhonny.

Jhonny menunjuk satu rumah kayu minimalis yang letaknya paling pojok diantara rumah yang lainnya, "itu rumah gue yang dulu, dan ini punya gue." katanya sedikit terkekeh.

Jessie tidak percaya, jadi rumah pohon ini punya Jhonny?

"Serius lo, nggak bohong?" katanya sambil menunjuk ke wajah Jhonny. "Tuh lo bisa liat ukiran nama gue." balas Jhonny sambil menujuk ukiran namanya.

Jessie menutup mulutnya dengan telapak tangannya kemudian menepuk-nepuk kecil pundak Jhonny, "Terus rumah lo yang itu nggak di tempatin lagi?." Jhonny menggeleng sambil tersenyum. "Semenjak Ibu gue meninggal, bokap nggak pernah ngajak gue ke rumah itu lagi, katanya keinget ibu terus."

Jessie diam tak berkutik, bagaimana bisa Jhonny menceritakan hal pilu itu sambil tersenyum. Jessie mengelus punggung Jhonny tanpa berkata apapun.

"Kalo lo kenapa?"

Jessie bingung, apakah dia akan akan cerita semua masalahnya pada Jhonny atau memilih memendam semua sendiri. Tetapi mungkin ini saatnya dia sedikit mengurangi beban yang akhir-akhir ini sangat berat.

"Gue capek."

Dua kata yang keluar dari mulut Jessie membuat Jhonny diam. Kini gantian, Jhonny menepuk punggung Jessie, seakan memberikan sedikit semangat untuknya. Jessie yang mendapat perlakuan seperti itu malah membuat dia semakin lemah. Tembok yang dia bangun seakan runtuh, topeng yang dia pakai juga seakan pecah, butiran air mata pun jatuh di pipi Jessie.

"Mama gue berulah lagi, gue kasian sama Papa. Lo tau kalo Ajun sama Candra itu beda Ibu sama gue?" Jhonny mengerutkan keningnya, "Engga. Jadi, kalian beda Ibu?" Jessie mengangguk.

"Waktu Rosie, Lisa umur 1 tahun Mama gue selingkuh," Jhonny memandang Jessie, "Bentar, Jess, lo serius bakal ceritain masalah ini ke gue?"

Jessie menatap Jhonny, "Gue percaya sama lo, lo mau kan sedikit meringankan beban gue?" Jhonny menggenggam tangan Jessie, "Kalo lo nggak kuat buat ceritain semua lo boleh berhenti Jess."

"Ortu gue bertengkar hebat waktu itu bahkan sampai main fisik dan itu di depan mata gue. Jane, Rosie, Lisa disuruh Mama untuk pergi ke rumah neneknya. Sedangkan gue disuruh milih ikut Mama atau Papa. Tentu gue nggak bisa jawab, karena sebagai anak gue nggak mau jauh dari keduanya. Dan akhirnya Mama pergi ninggalin Papa dan anak-anaknya," Jessie berhenti sejenak dia menundukkan kepalanya, dia mengusap air mata yang terus membasahi pipinya, "Di umur gue yang 4 tahun gue di paksa mengerti apa arti kehidupan sesungguhnya, disaat semua anak masuk SD di dampingi kedua orang tuanya, gue cuma punya Papa. Gue juga menggantikan sosok Ibu bagi Jane, Rosie, Lisa." Jhonny masih diam, namun tangannya mengelus punggung tangan Jessie.

"Nggak lama kemudian Papa nikah sama seseorang yang benar-benar bisa di sebut istri bagi Papa. Dia Bunda Crisci, Ibu kandung Candra dan Ajun. Tapi.. selang beberapa bulan sehabis Papa nikah, ekonomi keluarga kita hancur dan terpaksa buat gue, Jane, Rosie dan Lisa pisah dari Papa dan Bunda. Gue, Rosie dan Lisa tinggal di rumah Neney, Ibu dari Papa di Bali. Sedangkan Jane, dia ikut sama Bibi Tuti ke Bandung. Bibi Tuti itu dulunya pengasuh kita, Jane nggak mau sama siapa-siapa selain sama Bibi."

"Dan disaat ekonomi keluarga gue udah baik, Bunda sakit cancer." Air mata Jessie tak dapat di bendung lagi, gelar Jessie si kakak yang kuat sekarang rapuh. Jhonny memeluk Jessie, membiarkan Jessie menangis di dada bidangnya. "Nggak usah di lanjutin Jess." ucap Jhonny.

Jessie tidak pernah marah pada keadaan, dia memakluminya, mereka juga baru pertama kali menjadi orang tua. Mama, Papa dan Jessie masih sama-sama belajar menjadi yang pertama dalam perannya masing-masing.

Di usianya yang ke 1 tahun saja Jessie sudah menjadi calon kakak. Dan dimana banyak harapan dari orang tua kepadanya.



'Nanti kamu harus jadi contoh yang baik ya nak bagi adik kamu.'


'Jessie nanti besar mau jadi apa?'



'Jessie kalo udah jadi orang besar jangan lupa adik kamu ya'



'Jessie nanti jaga adik kamu yah'

Kalimat seperti itu sudah seperti makanan setiap harinya, apakah mereka lupa kalo Jessie juga manusia? Tapi Jessie menerima semua itu dengan senang hati, dia senang bisa menjadi anak pertama karena dia tidak mau adik-adiknya sepertinya. Menjadi si anak pertama yang bahunya harus sekuat baja. Padahal hatinya sangat rapuh. Memang benar perpaduan anak pertama dan perempuan itu tidak cocok.

Tangis Jessie mereda, namun dia belum berani menunjukkan wajahnya di depan Jhoony. Dia terlalu malu untuk menatap Jhonny, "Thank you, Jhonny."

















A/N

HAI UNTUK KAMU SI ANAK PERTAMA, KAMU HEBAT🤍

KOSAN BABEHDonde viven las historias. Descúbrelo ahora