Bab 16

135 12 4
                                    

Berteman dengan sahutan-sahutan knalpot kendaraan. Dibantu hiasan lampu-lampu setiap jalanan. Latar suasana malam seakan terkesan. Tambah lagi berdua dengan Ardhan. Begitu pemikiran Riana saat ini. Usai ditemani untuk mutar-mutar kota, mereka singgah di sekitar pedagang kaki lima memangkal.  Tidak ramai. Tiap stan terisi minimal dua sampai empat orang.

"Silahkan, Mbak, Mas," dua piring ketoprak dihidangkan. Tidak lupa dua sejoli itu berterima kasih pada si penjual. Dibalas anggukan dan sepintas senyum layaknya abang-abang pedagang.

Baru satu suapan, Ardhan melayangkan ingatan saat-saat di bus jalan pulang. Menjadikannya topik semata, "Lo nanya-nanya tipe cewek buat apa?"

Tersedak. Riana batuk-batuk kecil. Merasa punya andil membuat Riana seperti itu, cepat-cepat segelas air disodorkan Ardhan. Diteguknya sedikit, Riana mengembalikan benda kaca tersebut ke meja, "Makasih."

Seakan lupa pada pertanyaan awalnya, Ardhan memilih diam. Tidak penting juga dilanjutkan. Bersambung dengan heningan panjang disusul dentingan sendok dan garpu. Ardhan terlalu fokus memandangi sepiring ketopraknya. Seolah makanan itu berujung kabur bila sedetik ia melihat yang lain.

Muncul lagi sifat Ardhan itu, kaku.

Tengah sibuk berganti arah mata ke piring lalu sendok, Ardhan tidak sadar, gadis di depannya mencuri pandang ragu-ragu. Gugup pasalnya tiba-tiba Ardhan bertanya perihal itu. Riana bingung harus menjawab seperti apa.

"Kamu pernah denger laki-laki dan perempuan kalau temenan, nggak akan bisa murni memendam prinsip hanya teman?"

Ardhan menaikkan bahu sekilas, "Salah satunya memendam perasaan, nggak mau terus terang takut ngerusak pertemanan?" Sambungnya kelihatan acuh.

Senyum simpul terbit di bibir Riana, "Nah, kamu bener," menghela napas, Ardhan sama sekali tidak terusik dengan pembahasan barusan.

Menyuapkan kembali makanannya, Ardhan belum nyambung lantaran tidak terlalu menarik membalas percakapan. Saat sendok hampir tiba di mulut, Ardhan mencoba mencerna kalimatnya sendiri. Suapan terhenti beberapa detik. Tersadar apa yang dibicarakan berhubungan dengan keadaan.

Mengunyah lagi, Ardhan menoleh ke hadapannya. Melirik Riana dengan raut muka dalam-dalam, kaget.

Saat ini, malam ini, Riana mengodenya lebih jelas. Tidak berbelit. Bukan seperti kode-kodean cewek yang susah dimengerti, susah untuk peka. Sekelabat perkataan Fino dan Haris bertengkar di kepala Ardhan. Yang mana harus mengingatkannya tentang perasaannya pada Riana.

***

Suara pijakan sepatu dan lantai menghiasi, berkawan koridor yang tidak ramai tidak juga sepi. Fahira sendiri. Berbelok ke loker sebelum masuk ke kelasnya. Mengambil beberapa buku yang sengaja dititipkan di sana.

Buku paket sosiologi sudah di tangan. Fahira memutar kunci menutup kembali lokernya. Benda berbahan logam itu ia simpan dalam tas. Berbalik lagi menuju kelas.

Di belokan Fahira mengerem mendadak ketika seseorang datang dari arah berlawanan. Hampir menubruk dada bidang sebab si cowok lebih tinggi darinya. Tidak ada adegan tabrakan lalu buku-buku berjatuhan dilanjut kenalan dan tukaran nomor. Itu drama sekali. Yang ada Fahira tertunduk, tidak berani melihat orang itu barang sekali kedip lagi pun.

Masalahnya, orang itu harus Fahira hindari. Perkara malu yang ditanggungnya belum sirna. Melihat wajahnya pun Fahira enggan. Ardhan jelas-jelas tidak menyukainya. Menolaknya secara terbuka. Rasa senang tentu masih ada, tetapi bersembunyi dahulu karena tidak enak hati menguasai dadanya.

Fahira berlalu begitu saja. Tanpa sapaan, tanpa senyuman. Wajahnya menggambarkan kesedihan bercampur malu. Menyusup perasaan bersalah di diri Ardhan.

Sepanjang jalan hanya bisa tertunduk. Fahira tidak bisa membuat orang-orang berhenti memandangnya mengejek, tajam, atau apapun yang bersifat negatif. Berharap kedatangan seseorang yang dapat menemaninya sampai ke kelas.

Peri baik mengabulkan, Rio menghampiri dengan rangkulan. Mau tak mau Fahira tersenyum, Rio datang di waktu yang tepat.

"Mila sama Acha kemaren kenapa, Fah?" Tanya Rio setia dengan rangkulan di bahu kanan Fahira.

Fahira menjorokkan bibirnya mengingat kejadian tempo hari di kantin, "Acha kepergok makan sama Danu. Mila langsung main gebrak aja. Acha syok banget pasti."

Menganggut-anggut, Rio kembali berceletuk, "Kalian harus bijak, jangan sampai malah memihak salah satu. Pastiin dulu siapa yang salah atau mungkin salah paham."

"Gue juga bingung, Yo. Di sini kita ragu sama Acha, juga nggak bisa nyalahin Mila. Titik terang dari Danu belum ada. Gue heran sama tuh cowok, bisa-bisanya deketin Acha di saat dia hilang kabar dari Mila?" Muncul helaan napas berat Fahira.

***

"Rokok, Bro?" Fino menyodorkan bungkusan kecil berwarna merah. Tersisa satu dari kantong bajunya.

Istirahat kedua, tiga laki-laki itu menyempatkan diri menghabiskan waktu di tribun basket. Tidak ada orang, hanya mereka. Bukan menemani Ardhan berlari-larian mengejar bola. Duduk-duduk tampan saja, begitu kata Fino.

"Ini permen, pinter! Mabok lo?" Haris berkata jutek. Tak ayal mengambil juga makanan manis di tangan Fino.

"Ya, kan, pengganti rokok, Ris. Tahan dulu kalo lagi di sekolah," jawab Fino lagi, "Abis, Dhan, nggak ada buat lo. Kalo mau berdua aja sama Haris, suruh Haris patahin jadi dua," selesai dengan kalimatnya, Fino menghindar sebelum siku Haris mengenai badannya.

Ardhan menoleh ke bawah, "Nggak doyan permen," sahutnya datar.

"Ya iyalah, Ardhan kan doyannya susu!" Fino tertawa sehabis mengatakan itu. Sadar tidak ada yang menyusul menyumbang tawa, Fino terkekeh kaku.

"Garing lo!" Ketus Haris sembari melayangkan tatapan sinis. Matanya berganti ke sebelah, ke posisi Ardhan, "Ada yang lo pikirin, Dhan?"

Terlebih kenal Ardhan, Haris tahu temannya itu terbeban pikiran. Walau wajah Ardhan kelihatan cuek, sulit bagi orang-orang membedakan Ardhan -manusia satu ekspresi. Tetapi Haris dengan mudah membaca air muka Ardhan.

"Apa gue harus minta maaf ke Fahira?" Setelah lama berpikir panjang, satu kalimat itu lolos dari mulutnya.

"Fahira siapa?" Celetuk Fino, dahinya mengernyit kebingungan. Melirik dua temannya bergantian menunggu jawaban.

"Yang anak kelas sebelas itu, loh..." sambung Haris. Cukup dengan kata itu Fino dapat menganggut-anggut, mengingatkan yang terlupa. "Ikuti aja kata hati lo, Dhan," ujar Haris ke Ardhan. Hanya berkata sesederhana mungkin, namun mampu membuat Ardhan terdiam.

"Ceileeh... kata hati," cerocos Fino, bibirnya mencebik. Ada di bawah undakan tribun, tidak dilihatnya Haris dan Ardhan yang siap menggorok lehernya.

"Satu lagi, Ris..." Ardhan menggantungkan kalimatnya, sontak Haris menatap intens, menanti lanjutan dari bibir Ardhan, "Riana bahas perasaan dia."

Mata Fino melotot, "Apa? Trus nasib gue gimana, Dhan?" Ia memegang dadanya dramatis. "Ya udahlah, gue sama Fahira aja," selorohnya. Dibalas lirikan tajam dari Ardhan, Fino cengengesan, "Bercanda, Dhan."

"Gue nggak nyangka, ujungnya Riana suka gue," Ardhan mengerang, "Kenapa harus gitu?"

Haris menepuk-nepuk punggung Ardhan sembari terkekeh, "Trus lo mau apa sekarang?"

"Terlalu sering sama-sama, gue nggak tau apa gue juga suka sama dia," Ardhan memijat pelipisnya yang terasa pening. Urusan hati benar-benar bisa menjadikan orang uring-uringan.

"Cinta itu nggak harus berawal dari pandangan pertama kok, Dhan. Bayangin orang nikah karna taaruf, mereka nggak ada rasa cinta sama sekali. Tapi malah cinta itu yang datang sendiri seiring berjalannya waktu."

Entah dari mana kesambetnya, petuah tersebut berasal dari mulut Fino. Berhasil menggerakkan tangan Haris ke dahinya, tidak terasa panas. Keraguan apa Fino sedang sakit terjawab jelas. Haris seolah tak percaya Fino berpapar demikian.

Melihat Ardhan bergeming, Haris bersuara, "Lo? Trus, gimana?" Tanyanya, sedikit keraguan di sana.

Berusaha memantapkan hatinya beberapa kali berpikir ulang, tenggorokan Ardhan tercekat saat melanjutkan kata-kata, kata di mana Fino dan Haris bagaikan tersihir berlaku patung.

"Gue bakal coba..."

Sebersit Rasa Where stories live. Discover now