Chapter 3

37.6K 3.5K 303
                                    

Happy reading 😊

🌼🌼🌼

Saat aku dan Mas Ibra menggelar acara resepsi pernikahan, semua teman-teman kami terkejut. Pasalnya, sebulan setelah acara reuni itu berlangsung, kemudian kami membagikan undangan pernikahan kami yang sekarang jadi ajang reuni lagi bagi mereka.

Bang Amran sempat menggoda Mas Ibra. "Dulu aja di marah-marahin sampai nangis, taunya sekarang jadi bini sendiri," goda Bang Amran.

Bagaimana tidak menangis? Sudah aku ceritakan kan kalau Mas Ibra itu orangnya sedikit bicara dan terkesan lurus-lurus aja? Nah, ketika Mas Ibra memarahiku, ya spontan aku langsung takut dan menangis. Orang yang terkesan biasa saja dan jarang marah, sekalinya marah, maka setiap kalimat yang keluar dari lisannya akan terasa menusuk hingga ke ulu hati.

Mas Ibra hanya menanggapi godaan Bang Amran dengan senyum tipisnya, wajahnya terlihat biasa saja, tidak tergambar ekspresi malu atau gembira di sana.

***

Tidak seperti cerita di novel-novel yang aku baca, kami tidak bermalam di hotel terlebih dahulu, Mas Ibra langsung mengajakku untuk pulang ke rumah barunya. Ya, rumah baru yang baru dihuni malam ini oleh tuan dan nyonya-nya.

Selepas membersihkan diri, aku langsung menyusul Mas Ibra yang sudah terlelap lebih dulu di atas ranjang. Malu atau canggung itu pasti ada, tapi tidak ada adegan salah satu pengantin memilih untuk tidur di sofa—itu tidak ada. Oh, iya, tadi juga tidak ada adegan ketika mempelai pria membantu menurunkan resleting mempelai wanita karena mempelai wanitanya kesusahan untuk menggapai resleting tersebut—sungguh itu tidak ada. Kali ini aku sedikit demi sedikit percaya bahwa cerita fiksi dan kejadian non-fiksi itu jelas berbeda. Bahkan, malam pertama yang biasanya—hmmm—ya begitulah, kalian tau sendiri, tapi kenyataannya Mas Ibra malah dengan lelapnya sudah tenggelam di alam mimpinya.

🌼🌼🌼

Hujan. Suasana itu yang berputar di otakku. Eh, mana ada hujan di dalam kamar? Ini rumah baru, bukan? Masa iya atapnya bocor?

Perlahan aku membuka mataku. Rupanya ini kelakuan suamiku dengan sifat menyebalkannya. "Apaan sih, Mas?!" kesalku.

"Subuh," balasnya. Dasar, nggak nyambung!

Lalu, dengan santainya—yang seolah tak merasa bersalah sedikitpun—dia mulai berjalan menjauh untuk mengembalikan gayung yang berada di tangannya itu ke dalam kamar mandi.

***

"Joging yuk, Mas!" ajakku karena sepertinya suasana di kompleks perumahan ini lumayan nyaman.

"Capek, lagi puasa," tolaknya.

Hah? Puasa? Padahal hari ini adalah hari yang aku sendiri bingung jenis puasa apa yang dilakukan pada hari ini? Sekarang bukan hari Senin ataupun Kamis, bukan juga bulan Syawal, atau bulan-bulan yang menganjurkan kita untuk berpuasa. Ya sudahlah, mungkin ilmu agamaku masih kurang, aku percaya kok kepada suamiku, dia kan pintar.

Saat aku sedang menikmati roti yang diolesi dengan selai kacang sebagai menu sarapanku, tiba-tiba Mas Ibra datang. "Nggak bisa masak?" tanyanya.

"Bisa kok—sedikit-sedikit."

"Kok nggak masak?"

"Kan menghormati Mas Ibra yang lagi puasa."

"Oh."

Kemudian, dia menarik kursi yang berada di hadapanku. Tangannya meraih dua lembar roti tawar yang kemudian diolesi dengan selai kacang lalu ditangkupkan menjadi satu dan tahap terakhir, yaitu masuk ke dalam mulutnya.

Unplanned Wedding [END]Onde histórias criam vida. Descubra agora