Chapter 6

31.6K 3.1K 44
                                    

Happy reading 🎉

🌼🌼🌼

Hari ini, aku melayani suamiku seperti biasa, menyiapkan pakaian kerjanya, menyiapkan sepatu, serta melayaninya di meja makan. Bedanya, aku tak banyak bicara hari ini.

Jam sudah menunjukkan pukul empat lebih lima belas menit, suara klakson mobil pun sudah terdengar—pertanda bahwa sang pengemudi meminta untuk dibukakan pintu gerbang.

Aku berjalan keluar hanya dengan menggunakan daster rumahan dan sendal jepit, serta jangan lupakan raut wajah malasku ini, seperti orang yang tidak memiliki semangat hidup. Jika kalian bertanya kenapa penampilanku tidak terkesan segar? Ya maklum saja, aku ini baru saja selesai masak untuk makan malam nanti.

Mas Ibra memasukkan mobilnya setelah ku bukakan pintu gerbang untuknya.

Aku meraih tangan kanannya untuk ku cium, lalu membantunya untuk membawakan tas kerjanya. Tidak ada jas karena ia hanya akan mengenakan jas ketika ada rapat penting atau pertemuan dengan investor saja.

"Aku cuma Manager, bukan Presdir."

Itulah yang ia katakan saat aku bertanya kenapa ia tidak mau mengenakan jas saat bekerja?

Aku mengekor di belakangnya untuk menuju ke kamar kami.

Sesampainya di dalam kamar, Mas Ibra duduk di sisi ranjang sambil melonggarkan dasinya yang mungkin terasa mencekik itu. Bukan melepas, hanya melonggarkan.

Sedangkan aku menyiapkan kaos dan celana pendek untuknya karena ku harap setelah ini ia akan segera masuk ke dalam kamar mandi. Tapi, dia tak kunjung bangkit dari duduknya. Mas Ibra malah duduk sambil memejamkan matanya, menikmati udara yang keluar dari AC.

Aku yang tidak sabaran pun—tanpa permisi—segera menarik dasinya dan melepasnya. Tak lupa juga aku berjongkok untuk melepaskan sepatu dan kaos kakinya. Ini baru pertama kalinya aku seperti ini karena biasanya aku lebih sering hanya mengomelinya saja saat ia enggan untuk melepas sepatunya atau menunda-nunda waktu mandi.

"Mandi!" suruhku.

Mas Ibra malah merebahkan dirinya di atas ranjang sembari memejamkan matanya.

Ya sudahlah, kalau begitu aku dulu saja yang mandi daripada kesorean.

Saat aku baru melangkahkan kaki ku di pintu kamar mandi, tiba-tiba Mas Ibra menginterupsiku. "Ngapain?"

"Mandi lah."

"Sini dulu!" titahnya. Ia sudah duduk dan menepuk-nepuk sisi yang kosong di sebelahnya.

"Aku mau mandi, udah gerah." Aku berusaha mengelak.

"Mau dosa?"

Kalau sudah begini, aku bisa apa? Akhirnya, aku memutuskan untuk menghampirinya. Aku duduk di tepi ranjang, tepat di sebelahnya.

"Kenapa?" tanya Mas Ibra.

Aku menatapnya dengan tatapan aneh, seperti orang yang bingung.

"Kenapa irit bicara?"

Aku mengernyitkan dahiku. Hah? Kamu pikir kamu sendiri itu apa kalau bukan manusia yang paling irit bicara di rumah ini?

"Oh, bukan." Ia menjeda kalimatnya. "Kenapa diamin aku?"

Ternyata dia menyadarinya. Aku masih kesal. Namun, aku suka menatap wajahnya yang stay cool itu, apalagi kalau dia setengah peka seperti ini. Ingat, hanya setengah peka, bukan sepenuhnya peka. Buktinya, dia hanya menyadari bahwa aku mendiamkannya, tapi dia tidak dapat memahami apa yang membuatku seperti ini. Padahal sepertinya tadi malam dia sudah melihat komentar di postinganku.

Unplanned Wedding [END]Where stories live. Discover now