Bagian 4

271 10 0
                                    

Aku membuka gorden jendela kontrakan baru ku, setelah seharian mencari kontrakan akhirnya aku menemukan sebuah kontrakan kecil di pinggir kota. Pukul satu pagi aku baru sampai di sini, aku harus berdebat terlebih dahulu pada pemilik kontrakan lama dan Eko tentang pembayaran sewa.

Aku melirik jam berwarna cokelat yang terpasang di dinding, baru pukul sembilan pagi. Aku memilih merebahkan tubuh ku lagi di ranjang, hari ini aku akan tidur seharian penuh. Mengembalikan kondisi fisik ku seperti sebelumnya, setidaknya aku tidak perlu pusing untuk biaya kontrakan untuk lima bulan kedepan. Aku sudah membayar lunas dengan uang dari cek yang aku cairkan kemarin siang.

Tapi sial, perut ku malah terasa lapar. Aku malas pergi keluar untuk mencari makan, aku belum hafal jalanan disini, terlebih lagi kaki ku yang sakit membuat aku kesusahan untuk berjalan. Aku menghela nafas pelan, lalu bangkit mengambil tongkat yang berada di samping ranjang. Menyambar tas dengan perasaan kesal, bahkan kondisi kontrakan ku saja masih acak-acakan dengan barang yang berceceran. Aku belum sempat merapikan karena kondisi ku yang lelah.

"Mau kemana mbak?" Aku terjolak kaget mendengar suara dari belakang, hampir saja aku terjatuh jika tidak ada seorang yang menahan tubuh ku. "Eh aku ngagetin ya?" Tanyanya polos.

Bodoh. Mana mungkin aku oleng jika tidak merasa kaget, aku heran dengan orang yang sering bertanya pertanyaan bodoh seperti ini. Dia sudah tau jelas jika aku kaget, apa tidak ada pertanyaan lain yang lebih masuk akal di banding pertanyaan murahan seperti ini. "Aku tetangga mbak disini, mbak yang pindah dini hari itu kan?" Pertanyaan sebelumnya saja belum aku jawab dia sudah mengajukan pertanyaan lain. Aku mengangguk membenarkan pertanyaannya, masa bodo aku di cap sombong. Menjadi diri sendiri jauh lebih baik daripada harus berpura-pura menjadi orang lain.

"Mbak mau kemana?" Ucapnya mengulangi pertanyaannya.

"Ani, panggil aku Ani" balasku padanya. Umur ku memang bisa dibilang sudah tidak muda lagi, tapi rasanya aku risih di panggil mbak. "Aku lapar, apa kau tau penjual makanan di dekat sini?" Balasku balik bertanya.

"Mau nitip aku sekalian gak? Kebetulan aku mau ngambil laundry" ucapnya menawarkan diri.

Aku menggeleng pelan, pertanda menolak tawarannya. Aku tidak ingin merepotkan siapa pun, terlebih lagi aku baru saja pindah kesini. "Gausah, aku bisa sendiri" balas ku menolak.

"Tapi kaki mbak kan lagi sakit" aku menatap gadis dengan rambut pirang di sebelahku dengan pakaian minim, memang benar perilaku seorang tidak bisa di ukur dengan tampilan. Aku bisa menebak gadis di sebelahku ini adalah orang baik, raut mukanya tidak menunjukkan perilaku sebaliknya.

"Siapa nama mu?" Tanya aku padanya.

"Melly"

Aku tersenyum tulus padanya, bahkan namanya saja sama dengan mendiang adik ku. Tangan ku terangkat mengelus rambutnya pelan, perasaan kesal yang tadinya menguasai aku seketika hilang. Akhir-akhir ini keadaan sekitar mengingatkan aku pada keluarga ku yang telah tiada, seakan menegur aku yang telah lupa. Aku tidak munafik, aku merindukan mereka. Meskipun semasa hidup mereka banyak menyusahkan aku, tapi bukan berarti aku membenci mereka seperti aku membenci diriku sendiri.

Mata ku mulai memanas, membendung air mata yang siap jatuh. Aku tidak mengerti kenapa aku menjadi gampang menangis seperti ini, sebelumnya aku tidak pernah menangis di depan orang, apalagi orang yang baru aku kenal.

Melly menatap aku dengan tatapan bingung, mungkin dia bingung kenapa aku tiba-tiba menangis tanpa sebab. Aku lihat dia mengambil tangan ku yang berada di kepalanya, lalu menggenggam tangan ku dengan erat. Aku menatap manik mata Melly, sepertinya dia juga memiliki masalah yang berat juga. "Mbak ada masalah?" Tanyanya pada ku. Lagi-lagi aku menggeleng, aku tidak ingin menyusahkan orang dengan mendengarkan sepenggal kisah ku yang menyedihkan. "Mbak orang pertama yang mau berbicara dengan aku, penghuni kontrakan yang lain bahkan enggan untuk sekedar menyapa aku disini" ucapnya lirih.

Dari nada bicara Melly aku bisa mengerti masalah yang Melly alami bukan masalah kecil, raut muka Melly yang tiba-tiba berubah sendu juga menunjukan bahwa Melly memang tidak dalam kondisi baik. "Aku bekerja di sebuah hiburan malam, aku bukan pelacur. Aku hanya menemani tamu minum, selebihnya aku tidak melakukan apa-apa. Tapi orang-orang disini menganggap aku menjual diri, sudah hampir satu tahun aku tinggal disini. Baru kali ini aku bisa mengobrol banyak dengan tetangga" imbuh Melly dengan di iringi isakan kecil.

Aku memeluk Melly layaknya aku memeluk adik ku dulu, aku juga pernah berada di posisi Melly. Di tuduh menjual diri pada pria hidung belang, padahal sekalipun aku belum pernah menginjakkan kaki ke tempat haram tersebut. Aku mengusap punggung Melly pelan untuk menenangkannya, tangis Melly pecah di pundak ku. "Aku mengerti, ada aku sekarang" ucap ku pada Melly. Tangis Melly semakin pecah, sekali lagi aku malu pada diri ku sendiri yang terlalu banyak mengeluh.

Pagi itu aku mengobrol banyak dengan Melly, kami saling bertukar cerita. Umur Melly enam tahun lebih muda dari aku, sama dengan umur mendiang adik ku. Aku seperti menemukan sosok adik ku pada diri Melly, cara dia bicara hingga gerak-geriknya saat bersama aku sama persis dengan adik ku yang telah tiada. Setidaknya dengan mengobrol dengan Melly rasa rindu ku pada keluarga aku yang telah tiada sedikit berkurang, meskipun tidak banyak tapi aku cukup merasa tenang.

Dari Melly aku juga belajar, setiap orang memiliki masalah dengan bobot yang berbeda. Tuhan sudah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya, bukanya tidak bersyukur. Tapi kita juga berhak untuk mengeluh.

Melly memang bukan orang pertama yang aku temui dengan segala permasalahannya, aku banyak bertemu dengan orang yang memiliki berbagai macam masalah berbeda. Mereka semua hebat, termasuk Melly. Aku percaya, setiap masalah yang aku alami pasti akan ada akhirnya. Terbukti, aku bisa bertahan hingga di titik sekarang.

Hujan Dengan DukaWhere stories live. Discover now